FYI

SafelinkU | Shorten your link and earn money

Popular Posts in last 30 days

Nasib karyawan sejati


Kalau sudah tau begini, masih mau jadi karyawan? Mari berwirausaha, supaya tidak ngedumel, gak ngomel, gak nyumpahin atasan, dll, dan yang jelas gak nambah-nambahin dosa.

Jadi karyawan itu rejekinya ditakerin pengusaha,

Waktunya Shalat masih harus kerja (dengan kata lain, lebih mementingkan dunia, karena mungkin takut dipecat, dipotong gajinya, dll). Padahal yang ngasih rejeki itu Allah SWT.

Kebayang gak, dah kerja gajinya kecil, shalat aja gak bisa tepat waktu, ngedumel melulu karena stress diomelin boss.. yang pasti sih "Dunia gak dapat, Akhirat apalagi..."

Ayo kumpulin uang buat bikin usaha sendiri, biar dunianya dapat, akhiratnya dapat.

Some nice quotes from parents

















Hati-hati menyingkat salam dalam menulis pesan text


Salah satu kebodohan manusia


Islam, untuk kaum yang berpikir.


Berpikir Adalah Salah Satu Ajaran Islam Sesungguhnya Dan Untuk Manusia Yang Berpikir
QS. Ar-Rum [30] : 24
وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦ يُرِيكُمُ ٱلْبَرْقَ خَوْفًا وَطَمَعًا وَيُنَزِّلُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءً فَيُحْىِۦ بِهِ ٱلْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَآ ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya.

Kenapa manusia adalah mahluk sempurna dan mulia yang mana Allah memerintahkan Malaikat dan Iblis untuk tunduk kepada manusia?
Manusia sebagai mahluk sempurna karena mempunyai akal pikiran untuk bernalar dan akan menjadi mahluk mulia jika memanfaatkan akal pikiran untuk kebaikan serta mendapatkan atau mengolah data dari ilmu pengetahuan yang manusia peroleh!
Salah satu ajaran Islam sesunggunhya adalah memanfaatkan akal pikiran yang Allah anugerahi tersebut untuk berjilhad yaitu berjuang untuk mencapai kemuliaan yang Allah janjikan dengan cara berpikir dan berpikir tentang semua yang Allah sediakan serta Allah berikan.
Beberapa contoh ayat Al Qur'an yang mana Allah memerintahkan dan menantang kaum berpikir untuk berpikir tentang firman Allah:
Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.
(QS. Shaad, 38: 29)
Sekali-kali tidak demikian halnya. Sesungguhnya Al-Qur'an itu adalah peringatan. Maka barangsiapa menghendaki, niscaya dia mengambil pelajaran daripadanya (Al-Qur'an). Dan mereka tidak akan mengambil pelajaran daripadanya kecuali (jika) Allah menghendakinya. Dia (Allah) adalah Tuhan Yang patut (kita) bertakwa kepada-Nya dan berhak memberi ampun.
(QS. Al-Muddatstsir, 74: 54-56)
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.
(QS. Yuusuf, 12: 111)
Dan Kami angkut Nuh ke atas (bahtera) yang terbuat dari papan dan paku, yang berlayar dengan pemeliharaan Kami sebagai balasan bagi orang-orang yang diingkari (Nuh). Dan sesungguhnya telah Kami jadikan kapal itu sebagai pelajaran, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran? Maka alangkah dahsyatnya adzab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku. Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran? (QS. Al Qamar 54: 13-15)
Dan Kami turunkan kepadamu Adz-Dzikr (Al-Qur'an), agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (QS. An-Nahl, 16: 44)
Dan berkata manusia: "Betulkah apabila aku telah mati, bahwa aku sungguh-sungguh akan dibangkitkan menjadi hidup kembali?" Dan tidakkah manusia itu memikirkan bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakannya dahulu, sedang ia tidak ada sama sekali? (QS. Maryam, 19: 66-67).
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. (QS. Al-Baqarah, 2: 164)
Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, diantaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya adzab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berpikir.
(QS. Yuunus, 10: 24)
Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebahagian tanam-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.
(QS. Ar-Ra'd, 13: 3-4)
Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir.
(QS. Al-Jaatsiyah, 45: 13)
Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan. Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya), dan Dia (menundukkan pula) apa yang Dia ciptakan untuk kamu di bumi ini dengan berlain-lainan macamnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang mengambil pelajaran. Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur. Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk, dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk. Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan (apa-apa)? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran.
(QS. An-Nahl, 16: 11-17)
Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia", kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.
(QS. An-Nahl, 16: 68-69).
Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.
(QS. Az-Zumar, 39: 42)
Banyak lagi firman Allah dalam Al Qur'an yang memerintahkan dan menantang seluruh umat manusia untuk berpikir serta berpikir tentang firman Allah.


"Berbahagialah Bagi Kaum Yang Mau Berpikir" 

Saya selalu teringat dengan quote dosen pembimbing tugas akhir saya yang terasa begitu mengena di hati dan telah menjadi sumber inspirasi saya untuk menjadi manusia yang mau berpikir dan berpikir. Manusia diberkahi Allah SWT dengan sarana berpikir yang demikian lengkap, namun sangat jarang yang menggunakannya dengan sebaik-baiknya. Salah satu ajaran Islam sesungguhnya adalah tentu memanfaatkan akal pikiran yang Allah anugerahi tersebut untuk berjilhad yaitu berjuang untuk mencapai kemuliaan yang Allah janjikan dengan cara berpikir dan berpikir tentang semua yang Allah sediakan serta Allah berikan. Beberapa contoh ayat Al Qur’an yang mana Allah memerintahkan manusia untuk berpikir: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS.Al-Baqarah:164) “Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS. Al Jaatsiyah 13) “Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebahagian tanam-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS.Ar Ra’d:4) “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar Rum 21) Ayat-ayat di atas adalah salah satu ayat yang menggambarkan hanya sebagian kecil kebesaran-kebesaran Allah SWT. Di ujung ayat disebutkan bahwa itu adalah tanda-tanda kebesaran Allah SWT, tentu saja bagi kaum yang berpikir. Di sini tersirat bahwa memikirkan alam merupakan salah satu cara mengenal kebesaran Allah SWT. Manusia sebagai mahluk sempurna karena mempunyai akal pikiran untuk bernalar dan akan menjadi mahluk mulia jika memanfaatkan akal pikiran untuk kebaikan serta mendapatkan atau mengolah data dari ilmu pengetahuan yang manusia peroleh. Saya jadi teringat dengan salah satu quotes dari film Sands of Iwo Jima (1949) dimana seorang aktornya yang bernama Sergeant Stryker yang diperankan oleh John Wayne berkata: Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa Allah SWT memerintahkan kita sebagai manusia untuk mau berpikir tentang penciptaan-Nya. Namun semua itu telah Allah SWT tundukan untuk kita. Ini sebagai tanda bahwa manusia memiliki kemampuan (dari Allah) untuk menundukan apa yang ada di langit dan di bumi. Bukan orang pintar, bukan juga orang yang beruntung akan tetapi orang yang  BIJAK dan mau BERPIKIR yang dapat menikmati hidupnya. Hidup adalah berkah bagi kaum yang mau berpikir. Sudahkah Anda berpikir?

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/andriayanie/berbahagialah-bagi-kaum-yang-mau-berpikir_55298106f17e618b7bd623af

Ayat-ayat mana saja dalam al-Quran yang menyeru manusia untuk berpikir? Tolong jelaskan ayat-ayat yang menyinggung tentang berpikir dan berasionisasi dalam al-Quran?
Jawaban Global
Untuk mengkaji makna berpikir dan berasionisasi dalam al-Quran, pertama-tama, kita harus melihat secara global makna “akal” yang disebutkan dalam beberapa literatur Islam dan dengan pendekatan ini kemudian kita dapat meninjau secara lebih akurat pada ayat-ayat al-Quran terkait dengan berpikir dan menggunakan akal dalam al-Quran.
Akal dan pikiran merupakan karunia paling mulia yang diberikan Allah Swt kepada manusia.  Orang-orang yang tidak berpikir dan menolak untuk menghamba kepada Tuhan, dipandang sebagai mahkluk yang lebih buruk daripada binatang.[1] Akal dalam pandangan al-Quran dan riwayat, bukanlah semata-mata akal kalkulatif dan logika Aristotelian. Keduanya meski dapat menjadi media bagi akal namun tidak mencakup semuanya.
Karena itu, berulang kali al-Quran menyebutkan bahwa kebanyakan orang tidak berpikir, atau tidak menggunakan akalnya; sementara kita tahu bahwa kebanyakan manusia melakukan pekerjaannya dengan berhitung dan kalkulatif pada seluruh urusannya.
Memandang sama akal dan berpikir kalkulatif merupakan sebuah kesalahan epistemologis.  Bahkan melakukan komparasi dan memiliki kemampuan berhitung semata-mata merupakan salah satu media permukaan akal yang lebih banyak berurusan pada masalah angka-angka dan kuantitas.
Namun untuk mencerap realitas-realitas segala sesuatu, baik dan buruk, petunjuk dan kesesatan, kesempurnaan dan kebahagiaan, dan lain sebagainya diperlukan cahaya yang disebut sebagai sebuah anasir Ilahi yang terpendam dalam diri manusia. Anasir ini adalah akal dan fitrah manusia dalam artian sebenarnya. Sebagaimana sesuai dengan sabda Imam Ali As bahwa nabi-nabi diutus adalah untuk menyemai khazanah akal manusia.[2]
Dalam Islam, akal dan agama[3] adalah satu hakikat tunggal dan sesuai dengan sebagian riwayat, dimanapun akal berada maka agama akan selalu mendampingi,[4] tidak ada jarak yang terbentang antara iman dan kekurufan kecuali dengan kurangnya akal.[5]
Menggunakan pikiran dan akal dapat digunakan di jalan benar dan tepat apabila digunakan  dalam rangka ibadah dan penghambaan. Imam Shadiq As ditanya tentang apakah akal itu?” Imam Shadiq As menjawab, “Sesuatu yang dengannya Tuhan disembah dan surga diraih.”[6]
Berdasarkan hal ini, harap diperhatikan, berpikir dalam al-Quran tidak serta merta bermakna menggunakan akal yang dikenal secara terminologis.  Tatkala al-Quran menyeru untuk berpikir dan merenung dalam rangka penghambaan yang lebih serta terbebas dari belenggu kegelapan dan kesilaman jiwa, boleh jadi merupakan salah satu tanda berpikir dan berasionisasi.
Dalam pandangan ini, kedudukan akal dan pikiran sedemikian tinggi dan menjulang sehingga Allah Swt dalam al-Quran, tidak sekali pun menyuruh hamba-Nya untuk tidak berpikir atau menempuh jalan secara membabi buta.[7]
Menurut Allamah Thabathabai, Allah Swt dalam al-Quran menyeru manusia sebanyak lebih dari tiga ratus kali untuk menggunakan dan memberdayakan anugerah pemberian Tuhan ini,[8] dimana ayat-ayat ini dapat diklasifikasikan secara ringkas sebagaimana berikut:
  1. Mencela secara langsung manusia yang tidak mau berpikir:
Pada kebanyakan ayat al-Quran, Allah Swt menghukum manusia disebabkan karena mereka tidak berpikir. Dengan beberapa ungkapan seperti, “afalâ ta’qilun”, “afalâ tatafakkarun”, “afalâ yatadabbaruna al-Qur’ân”,[9] Allah Swt mengajak mereka untuk berpikir dan menggunakan akalnya.
  1. Ajakan untuk berpikir dalam pembahasan-pembahasan tauhid:
Allah Swt menggunakan ragam cara untuk mengajak manusia berpikir tentang keesaan Allah Swt; seperti pada ayat, “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai ‘Arasy dari apa yang mereka sifatkan.” (Qs. Al-Anbiya [21]:22)[10] dan “Katakanlah, “Mengapa kamu menyembah selain dari Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi mudarat kepadamu dan tidak (pula) mendatangkan manfaat bagimu? Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al-Maidah [5]:76) serta ayat-ayat yang menyinggung tentang kisah Nabi Ibrahim As dalam menyembah secara lahir matahari, bulan dan bintang-bintang, semua ini dibeberkan sehingga manusia-manusia jahil dapat tergugah pikirannya terkait dengan ketidakmampuan tuhan-tuhan palsu.[11] Dengan demikian, Allah Swt mengajak manusia untuk merenungkan dan memikirkan ucapan dan ajakan para nabi, “Apakah mereka tidak memikirkan bahwa teman mereka (Muhammad) tidak berpenyakit gila? Ia (Muhammad itu) tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang nyata (yang bertugas mengingatkan umat manusia terhadap tugas-tugas mereka). “(Qs. Al-A’raf [7]:184); “Katakanlah, “Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu pikirkan (tentang Muhammad) tidak ada penyakit gila sedikit pun pada kawanmu itu. Dia tidak lain hanyalah pemberi peringatan bagimu sebelum (menghadapi) azab yang keras.” (Qs. Al-Saba [34]:46)
  1. Penciptaan langit-langit dan bumi serta aturan yang berkuasa atas seluruh makhluk:
Mencermati langit dan bumi serta keagungannya, demikian juga aturan yang berlaku pada unsur-unsur alam natural, merupakan salah satu jalan terbaik untuk memahami keagungan Peciptanya. Allah Swt dengan menyeru manusia untuk memperhatikan dan mencermati fenomena makhluk, sejatinya mengajak mereka untuk berpikir tentang Pencipta makhluk-makhluk tersebut. Misalnya pada ayat, “Dia-lah yang menciptakan segala yang ada di bumi untuk kamu. Kemudian Dia (berkehendak) menciptakan langit, lalu Dia menjadikannya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs. Al-Baqarah [2]:29)[12]dan “Apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana dia diciptakan.” (Qs. Al-Ghasiyah [88]:17)
  1. Penalaran terhadap adanya hari Kiamat:
Inti keberadaan hari Kiamat dan bahwa Allah Swt Mahakuasa untuk membangkitkan manusia setelah kematian mereka didasarkan argumen-argumen rasional. Pada kebanyakan ayat al-Quran, kemungkinan adanya hari Kiamat dinyatakan dalam bentuk ajakan untuk berpikir pada contoh-contoh yang serupa; seperti datangnya para wali manusia,[13]  hidupnya kembali bumi dan tumbuh-tumbuhan,[14] kisah hidupnya burung-burung sebuah jawaban atas permintaan Nabi Ibrahim AS,[15] kisah Ashabul Kahfi,[16]kisah Nabi Uzair[17] dan masih banyak contoh lainnya.
  1. Isyarat terhadap sifat-sifat Allah Swt:
Pada kebanyakan ayat al-Quran dengan menyinggung sebagian sifat Allah Swt, manusia diajak untuk berpikir tentang Allah Swt dan tentang amalan perbuatan mereka. Sifat-sifat seperti, Qadir, Malik, Sami’dan Bashir dengan baik menunjukkan atas isyarat ini. Seperti, “Tidakkah mereka tahu bahwasanya Allah mengetahui rahasia dan bisikan mereka, dan bahwasanya Allah amat mengetahui segala yang gaib?” (Qs. Al-Taubah [9]:78)[18] dan ayat-ayat dimana Allah Swt memperkenalkan dirinya sebagai saksi atas amalan-amalan kita, seperti, “Katakanlah, “Hai ahli kitab, mengapa kamu ingkari ayat-ayat Allah? Padahal Allah Maha Menyaksikan apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Ali Imran [3]:98)[19] jelas bahwa ayat-ayat ini tengah membahas tentang prinsip-prinsip akidah; seperti tauhid, kenabian, ma’ad dan keadilan Ilahi. Ayat-ayat ini adalah ayat-ayat rasional yang termaktub dalam al-Quran. Karena prinsip-prinsip akidah bertitik tolak dari pembahasan-pembahasan rasional yang harus ditetapkan dengan berpikir dan menggunakal akal. Taklid dalam hal ini tidak dibenarkan.
  1. Menjelaskan ragam kisah dan azab yang diturunkan akibat dosa-dosa kaum-kaum terdahulu:
Harap diperhatikan menjelaskan kisah-kisah kaum terdahulu yang disampaikan dalam al-Quran, bukan dimaksudkan untuk sekedar menjelaskan satu kisah atau kisah yang membuat manusia larut di dalamnya, melainkan sebuah pelajaran berharga untuk umat selanjutnya. Atau dengan menelaah nasib dan peristiwa yang menimpa mereka, manusia seyogyanya berpikir tentang akhir dan pengaruh amalan perbuatan mereka sehingga dapat menuntun manusia untuk tidak melakukan perbuatan yang sama; seperti kisah Nabi Yusuf,[20]  kisah yang sarat dengan pelajaran wanita-wanita para nabi,[21] azab-azab yang turun untuk kaum Ad, Tsamud dan Luth.[22]
  1. Menjelaskan mukjizat-mukjizat para nabi:
Jalan terbaik untuk menetapkan kebenaran seorang nabi dan klaim risalah yang dibawanya dari sisi Allah Swt adalah mukjizat. Mukjizat hanya dapat menetapkan klaim kenabian seorang nabi tatkala hal itu berada di luar kemampuan dan kekuatan manusia; karena itu demonstrasi mukjizat merupakan sebuah ajakan nyata kepada manusia untuk berpikir sehingga manusia dengan berpikir terhadap ketidakmampuannya dan kekuatan mukjizat ia beriman kepada ucapan-ucapan para nabi; seperti mukjizat terbesar Nabi Muhammad Saw, al-Quran yang akan tetap abadi selamanya dan manusia dengan berpikir dan ber-tafakkur pada ayat-ayatnya dapat meraih iman pada kebenaran nabi pamungkas,[23] dan mukjizat-mukjizat agung yang diriwayatkan dari para nabi ulul azmi.[24]
  1. Tantangan dalam al-Quran:
Salah satu contoh ajakan dan seruan al-Quran untuk berpikir adalah tantangan kepada orang-orang kafir untuk menghadirkan seperti ayat-ayat al-Quran. Tatkala manusia mencari kebenaran, mereka menjumpai ketidakmampuan orang-orang kafir sepanjang tahun ini, mereka beriman kepada kebenaran al-Quran dan pembawa pesannya; seperti ayat, “Dan jika kamu (tetap) meragukan Al-Qur'an yang telah Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah (paling tidak) satu surah saja yang semisal dengan Al-Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah (untuk melakukan hal itu), jika kamu orang-orang yang benar.” (Qs. Al-Baqarah [2]:23)[25]
  1. Mencela taklid buta:
Pada kebanyakan ayat al-Quran, orang-orang kafir untuk mencari pembenaran atas tindakannya menyembah berhala, tidak mau berpikir dan sebagai gantinya menjadikan taklid buta dari datuk-datuknya sebagai pembenar atas perbuatan-perbuatan mereka. Allah Swt mencela mereka karena tidak mau memanfaatkan kemampuan akal dan menyeru mereka untuk berpikir dan merenung dalam masalah-masalah akidah; misalnya pada ayat,  “Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan oleh Allah”, mereka menjawab, “(Tidak)! Tetapi, kami hanya mengikuti apa yang telah kami temukan dari (perbuatan-perbuatan) nenek moyang kami.” (Apakah mereka akan mengikuti juga) meskipun nenek moyang mereka itu tidak memahami suatu apa pun dan tidak mendapat petunjuk?” (Qs. Al-Baqarah [2]:170)[26] sebagaimana Allah Swt mencela Ahlulkitab disebabkan akidah-akidah batil dan taklid buta mereka, “Katakanlah, “Hai ahli kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat sebelum (kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (Qs. Al-Maidah [5]:77)
  1. Meminta argumentasi di hadapan ucapan-ucapan tak berguna:
Tatkala Allah Swt di hadapan ucapan-ucapan tak berguna dan tidak benar sebagian manusia, menuntut dalil dan burhan, dan dengan lugas meminta seluruh manusia untuk tidak mengikut sesuatu yang tidak ada pengetahuan tentangnya;[27] artinya Allah Swt menginginkan seluruh manusia menjadikan akalnya sebagai panglima untuk memutuskan di hadapan pelbagai khurafat dan hal-hal nonsense dan meminta argumentasi dari mereka; seperti, “Dan mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata, “Sekali-kali tidak akan pernah masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani.” Demikian itu (hanyalah) angan-angan kosong mereka belaka. Katakanlah, “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (Qs. Al-Baqarah [2]:111)[28] Demikian juga para nabi meminta argumentasi di hadapan klaim-klaim kosong seperti, “Apakah engkau tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan)? Ketika Ibrahim berkata, “Tuhanku adalah Dzat yang dapat menghidupkan dan mematikan.” Orang itu berkata, “Saya juga dapat menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah matahari itu dari barat.” Lalu, orang yang kafir itu terdiam (seribu bahasa); dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” Qs. Al-Baqarah [2]:258)
  1. Menggunakan penyerupaan dan permisalan dalam memotivasi dan mencela manusia:
 Allah Swt pada kebanyakan ayat mengajak manusia untuk berpikir dengan menggunakan penyerupaan sehingga ia mau merenung atas apa perbuatanya; seperti, “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.” (Qs. Al-Ankabut [29]:41)[29]
  1. Mengingatkan pelbagai nikmat:
Allah Swt dalam al-Quran dengan mengingatkan pelbagai nikmat, meminta manusia untuk menjauhi sikap angkuh dan memuja diri serta tidak melupakan kedudukan penghambaan dan ibadah. Metode mengajak berpikir seperti ini kebanyakan digunakan untuk kaum Bani Israel; seperti, “Wahai Bani Isra’il, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan (ingatlah pula) bahwa Aku telah mengutamakan kamu atas segala umat.” (Qs. Al-Baqarah [2]:47 & 122) dan Tanyakan kepada Bani Isra’il, “Berapa banyakkah tanda-tanda (kebenaran) nyata yang telah Kami berikan kepada mereka.” Dan barang siapa yang merubah nikmat Allah setelah nikmat itu datang kepadanya, sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya” &  Demikianlah Allah menjelaskan kepadamu ayat-ayat-Nya supaya kamu merenungkan. (Qs. Al-Baqarah [2]:211 & 242) dan pada hari kiamat akan menjadi hari tatkala seluruh anugerah ini akan ditanya.”[30]
  1. Membandingkan antara manusia dengan memperhatikan pikiran dan perbuatannya:
Tatkala seorang berakal melakukan perbandingan antara dua hal, pada hakikatnya ingin menjelaskan tipologi dan pengaruh positif dan negative masing-masing dari dua hal yang dibandingkan. Membandingkan antara orang-orang beriman dan orang-orang kafir juga merupakan seruan nyata Allah Swt kepada manusia untuk berpikir dan berenung, sehingga manusia yang berpikir dapat menimbang akibat orang-orang beriman dan orang-orang kafir, kemudian menemukan jalannya; seperti ayat,“Sesungguhnya telah ada tanda (dan pelajaran) bagimu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur). Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali lipat jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati.” (Qs. Ali Imran [3]:13)[31] 
  1. Menuntaskan hujjah:
Tatkala mengirimkan pelbagai mukjizat, ayat-ayat, dan tanda-tandanya yang beragam, Tuhan telah menuntaskan hujjah bagi para hamba-Nya dan memberikan kepada mereka janji-janji pahala dan azab, pada hakikatnya mereka diseur untuk berpikir dan berenung sehingga manusia mau menimbang segala yang dilakukan dan dikerjakannya. Para nabi juga tidak mendatangi para umatnya kecuali menuntaskan hujjat dengan pelbagai dalil, argument dan tanda-tanda, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa tanda-tanda (kekuasaan) Kami dan mukjizat yang nyata” (Qs. Hud [11]:96) tatkala mereka menolak untuk menjadi hamba, tidak akan diampuni, “Sesungguhnya Musa telah datang kepadamu dengan membawa bukti-bukti kebenaran (mukjizat), kemudian kamu menjadikan anak sapi (sebagai sembahan) setelah ia pergi, dan sebenarnya kamu adalah orang-orang yang zalim & Tetapi jika kamu menyimpang (dari jalan Allah) setelah datang kepadamu bukti-bukti kebenaran yang nyata, maka ketahuilah, bahwasanya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Qs. Al-Baqarah [2]:92 & 209)[32]seluruh hujjah tidak terkhusus untuk para pendosa saja, melainkan mencakup seluruh nabi, “Dan sebagaimana (Kami telah menurunkan kitab kepada para nabi sebelum kamu), Kami (juga) telah menurunkan Al-Qur’an itu (kepadamu) sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab. Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak memiliki pelindung dan penolak pun dari (siksa) Allah.” (Qs. Al-Ra’d [13]:37)[33]
Pada akhirnya, al-Quran mendeskripsikan kondisi orang-orang yang enggan berpikir dan tidak mau mendengarkan ucapan-ucapan para nabi dan imam, “Dan mereka berkata, “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Qs. Al-Mulk [67]:10)[34] dan karena mereka memiliki akal dan mereka sendiri dapat memberikan penilaian, maka Allah Swt, dengan menyerahkan catatan amalan akan meminta mereka menilai sendiri atas apa saja yang telah mereka kerjakan.[35] [iQuest]
 

[1].  Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya di sisi Allah ialah orang-orang yang bisu dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun. (Qs. Al-Anfal [8]:22)
[2].  Nahj al-Balâgha, (Subhi Shaleh), hal. 43, Intisyarat Hijrat, Qum, 1414 H.
[3]. Akal dan Agama, 4910; Hubungan Akal dan Agama, 12105.  
[4]. Kulaini, al-Kâfi, jil, 1, hal. 10, Diedit oleh Ghaffari dan Akhundi, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1407 H.  
[5]Ibid, hal. 28.
[6]Ibid, hal. 11.  
[7]. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat jawaban 26661 yang terdapat pada site ini.   
[8]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân, jil. 3, hal. 57, Daftar Intisyarat Islami, Qum, 1417 H.  
[9].  “Apakah kalian tidak berpikir” redaksi kalimat ini dan redaksi kalimat yang serupa digunakan sebanyak 20 kali dalam al-Quran.  
[10]. Dan ayat-ayat serupa pada surah al-Mukminun “Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya. Kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu.” [23]:91)  
[11]. “Ketika malam telah menjadi gelap, ia melihat sebuah bintang (seraya) berkata, “Inilah Tuhanku.” Tetapi tatkala bintang itu tenggelam, ia berkata, “Saya tidak suka kepada yang tenggelam.” Kemudian tatkala ia melihat bulan terbit, ia berkata, “Inilah Tuhanku.” Tetapi setelah bulan itu terbenam, ia berkata, “Sesungguhnya jika Tuhan-ku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, ia berkata, “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar.” Tatkala matahari itu telah terbenam, ia berkata, “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.” (Qs. Al-An’am [6]:76-78)  
[12]. Dan ayat-ayat lainnya seperti (Qs. Yunus [10]:5); (Qs. Al-Mulk [67]:3 & 4); (Qs. Al-Baqarah [2]:3 & 4); (Qs. Al-Mukminun [23]:69 & 80) dan seterusnya; Allah Swt pada ayat 190 surah Ali Imran menyebut orang-orang yang memikirkan tanda-tanda Ilahi sebagai “ulul albab” yaitu orang-orang yang berpikir.
[13].  “Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya sedang dia bercakap-cakap dengannya, “Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?” (Qs. Al-Kahf [18]:37); “Hai manusia, jika kamu ragu tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sebagiannya berbentuk dan sebagian yang lain tidak berbentuk, agar Kami jelaskan kepadamu (bahwa Kami Maha Kuasa atas segala sesuatu), dan Kami tetapkan dalam rahim (ibu) janin yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, supaya (dengan berangsur-angsur) kamu sampai kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, sehingga dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang dahulunya telah ia ketahui. Dan (dari sisi lain) kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, bumi itu hidup dan tumbuh subur dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.” (Qs. Al-Hajj [22]:5)  
[14]“Dan Dia-lah yang mengirim angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati (pada hari kiamat), mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran.” (Qs. Al-A’rafa [7]:57); (Qs. Al-Rum [30]:50); (Qs. Fathir [35]:9) dan lain sebagainya.  
[15]. (Qs. Al-Baqarah [2]:260)
[16]. (Qs. Al-Kahf [18]:9-25)  
[17]. (Qs. Al-Baqarah [2]:259)
[18]. (Qs. Al-Taubah [9]:78); (Qs. Al-Baqarah [2]:96 & 107)   
[19]. (Qs. Ali Imran [3]:98); (Qs. Al-Nisa [4]:33 & 166)  
[20]. Surah Yusuf mengulas kisah ini secara rinci.  
[21].  (Qs. Al-Tahrim [66]:4, 10 dan 11)  
[22]. Seperti ayat-ayat, (Qs. Al-Fushilat [41]:13-17) dan (Qs. Al-A’raf [7]:80-84)
[23]. Mukjizat Rasulullah SAW lainnya pada (Qs. Al-Isra [17]:1 & 88); (Qs. Al-Qamar []:1)
[24]. Mukjizat-mukjizat Nabi Nuh As pada (Qs. Al-Ankabut [29]:15); Mukjizat-mukjizat Nabi Ibrahim As pada (Qs. Al-Anbiya [21]:69); Mukjizat-mukjizat Nabi Musa As pada (Qs. Thaha [20]:17-20) dan (Qs. Al-Qashash [28]:32) dan (Qs. Al-Baqarah [2]:50); Mukjizat-mukjizat Nabi Isa As pada (Qs. Al-Maidah [5]:110)  
[25]. Dan ayat-ayat lainya seperti (Qs. Yunus [10]:38) dan (Qs. Hud [11]:13)
[26]. Dan seperti ayat-ayat (Qs. Al-Maidah [5]:53 & 54); (Qs. Al-Syua’ara [26]:74); (Qs. Al-Zukhruf [43]:23)  
[27]. (Qs. Al-Isra [17]:36)   
[28]. Ketika Allah Swt berfirman kepada Rasul-Nya, “Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, mereka akan ditimpa siksa disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” (Qs. Al-An’am [6]:49)
[29]. Dan ayat-ayat lainnya seperti (Qs. Al-Jumu’ah []:5); (Qs. Al-Baqarah [2]:26, 171, 261, dan 265); (Qs. Ali Imran [3]:118) dan (Qs. Al-A’raf [7]:176)  
[30].   “Kemudian pada hari itu kamu pasti akan ditanyai tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (Qs. Al-Takatsur [102]:8)
[31].  (Qs. Al-Maidah [5]:50); (Qs. Al-An’am [6]:50); (Qs. Hud [11]:24); demikian juga perbandingan orang-orang mujahid dan orang-orang yang tidak berjihad pada surah al-Nisa:95)
[32].  (Qs. Al-Nisa [4]:153); (Qs. Al-Maidah [5]:32)  
[33].   Demikian juga “(Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan seluruh ayat (bukti) kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah diberi al-Kitab (Taurat dan Injil) itu, mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamu pun tidak (berhak) mengikuti kiblat mereka, dan sebagian mereka pun tidak akan mengikuti kiblat sebagian yang lain. Dan jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim.” (Qs. Al-Baqarah [2]:145)
[34].  Jelas bahwa yang dimaksud dengan mendengarkan di sini bukanlah taklid buta, melainkan mendengarkan berdasarkan pemikiran dan perenungan.
[35].  Menyinggung ayat “Adapun orang-orang yang menerima kitab (amal)nya dengan tangan kanan, maka dia berkata (lantaran bahagia dan bangga), “Ambillah, bacalah kitabku (ini) & Adapun orang yang menerima kitab (amal)nya dengan tangan kiri, maka dia berkata, “Wahai alangkah baiknya kiranya kitabku ini tidak diberikan kepadaku.” (Qs. Al-Haqqa [69]: 19 & 25 ).


Dalil Berfikir

Memberantas Kejumudan
Islam membebaskan manusia dari belenggu kejumudan dan kendali taklid buta yang menjijikkan. Islam mendidiknya untuk berpikir dan berkehendak secara bebas supaya akalnya sempurna, berpikir dengan benar, dan memiliki kepribadian dan kemanusiaan yang lengkap. Kesempurnaan akal, kebenaran berpikir, dan kemerdekaan berkehendak merupakan dasar kesahihan sebuah akidah, integritas keberagamaan, dan keluhuran moral. Dengan akal yang sempurna, berpikir secara benar dan berkehendak secara bebas seseorang dapat membedakan mana kebenaran yang harus diikuti dan mana kebatilan yang harus dihindari. Rasulullah Saw menjelaskan hal ini dengan sabdanya, “Seseorang tidak akan memperoleh sesuatu yang sebaik akal. Akal membimbing pemiliknya kepada petunjuk dan menghindarkannya dari kesesetan.” (Muttafaq ‘alaih).
Keimanan seseorang tidak akan sempurna dan keberagamaannya tidak akan benar hingga akalnya sempurna lebih dulu. Islam sangat memperhatikan pembinaan pilar ini. Hal itu bisa ditinjau dari beberapa sudut pandang:

Pertama, Dalil adalah Landasan Iman
Islam menjadikan dalil sebagai asas bagi iman yang tulus dan akidah yang benar. Islam menjelaskan bahwa keyakinan atau amal yang tidak didasarkan kepada dalil yang benar bakal tertolak. Islam juga memberi peringatan keras kepada orang-orang yang berbantah-bantahan tentang Allah Swt dan ayat-ayat-Nya tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk, dan tanpa dalil dari wahyu yang memberi penerangan. 
Allah Swt berfirman:
“Dan barang siapa menyembah tuhan lain selain Allah, padahal tidak ada suatu bukti pun baginya tentang itu, maka perhitungannya hanya pada Tuhannya. Sungguh orang-orang kafir itu tidak akan beruntung.” (QS. al-Mu’minun [23]: 117). 
“Dan di antara manusia ada yang berbantahan tentang Allah tanpa ilmu, tanpa petunjuk, dan tanpa kitab (wahyu) yang memberi penerangan sambil memalingkan lambungnya (dengan congkak) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. Dia mendapat kehinaan di dunia dan pada hari Kiamat Kami berikan kepadanya rasa azab neraka yang membakar.” (QS. al-Hajj [22]: 8-9). 
Perlu dicatat bahwa frasa burhânukum (bukti kebenaranmu) disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak empat kali.

Kedua, Kesesatan Para Pemimpin 
Islam telah mengungkap kesesatan para pemimpin agama yang melanggar perjanjian yang mereka buat. Mereka membuat kebohongan terhadap Allah dan menjualbelikan agama dan keyakinan. Mereka memproklamirkan diri berhak membuat syariat dan menentukan halal haram sesuai selera mereka demi mendapatkan keuntungan duniawi dan memuaskan hawa nafsu dengan mengelabui manusia tentang agama mereka. 
Allah Swt berfirman:
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi Kitab (yaitu), ‘Hendaklah kamu benar-benar menerangkannya (isi kitab itu) kepada manusia dan janganlah kamu menyembunyikannya,’ lalu mereka melemparkan (janji itu) ke belakang punggung mereka dan menjualnya dengan harga murah. Maka itu seburuk-buruk jual beli yang mereka lakukan.” (QS. Alu ‘Imran [3]: 187).
“Maka celakalah orang-orang yang menulis kitab dengan tangan mereka (sendiri), kemudian berkata, ‘Ini dari Allah,’ (dengan maksud) untuk menjualnya dengan harga murah. Maka celakalah mereka, karena tulisan tangan mereka, dan celakalah mereka karena apa yang mereka perbuat.” (QS. al-Baqarah [2]: 79).
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, ‘Ini halal dan ini haram,’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak akan beruntung.” (QS. an-Nahl [16]: 116).
“Dan janganlah kamu campur adukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya.” (QS. al-Baqarah [2]: 42).

Ketiga: Menyeru kepada Kebenaran
Islam menyeru seluruh manusia kepada kalimat kebenaran yang menjadi esensi kebaikan dan direspons oleh setiap orang yang berhati bersih dan berpikiran rasional. Kalimat yang diserukan oleh Islam ini merupakan titik persamaan semua risalah para rasul dan kitab suci yang diturunkan. Allah Swt berfirman, “Katakanlah (Muhammad), ‘Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah (kepada mereka), ‘Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang Muslim.’” (QS. Alu ‘Imran [3]: 64).

Keempat, Memperhatikan Langit dan Bumi
Islam memerintahkan setiap orang yang berakal untuk memperhatikan dan merenungkan langit dan bumi beserta semua isinya yang menjadi bukti nyata akan keesaan Allah dalam ulûhiyah dan rubûbiyah-Nya. Manusia harus memerhatikan langit yang membentang di atasnya, bagaimana ia dibangun sehingga sedemikian kokoh dan bagaimana ia dihias sehingga sedemikian indah? Dia juga harus memperhatikan bumi, bagaimana ia dihamparkan, dipancangi gunung-gemunung, dan ditumbuhi tanaman-tanaman yang indah? Mahakarya ini diciptakan semata-mata untuk menjadi peringatan bagi orang yang sadar hatinya dan mengerti.
Allah Swt berfirman, “Maka tidakkah mereka memperhatikan unta, bagaimana diciptakan? Dan langit, bagaimana ditinggikan? Dan gunung-gemunung bagaimana ditegakkan? Dan bumi bagaimana dihamparkan?” (QS. al-Ghasyiyah [88]: 17-20).
Kita harus menyadari bahwa penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut dengan muatan yang bermanfaat bagi manusia, air yang diturunkan dari langit untuk menghidupkan bumi setelah kekeringan, bermacam-macam binatang yang ditebarkan di bumi, perkisaran angin, dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, semua itu merupakan tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang mengerti yang mengikuti jalan cahaya dan pengetahuan. 
Apabila manusia memperhatikan dirinya dan mengetahui dari apa asalnya, bahwa dirinya diciptakan dari setetes air hina yang keluar dari antara tulang punggung dan tulang dada; apabila manusia mengamati bumi yang menjadi sumber kehidupan, dan memperhatikan makanannya, niscaya dia menemukan bahwa Allah Saw berkuasa mencurahkan air yang melimpah dari langit, membelah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu di sana Dia menumbuhkan biji-bijian, anggur, sayur-sayuran, zaitun, pohon kurma, kebun-kebun yang rindang, buah-buahan, dan rerumputan. Semua itu untuk kesenangan manusia dan hewan-hewan ternak. 
Dengan kontemplasi yang dibarengi perenungan dan pertimbangan akal, manusia akan semakin berilmu dan berpengetahuan. Orang yang meningkat ilmunya, meningkat pula imannya. Orang yang meningkat imannya niscaya akan semakin maju, bermoral, dan berbudaya. 
Allah Swt telah menyeru kita untuk memikirkan alam semesta yang luas ini dan memperhatikan sumber daya yang dikandungnya. Dia meminta kita untuk mempelajari berbagai rahasia dan berbagai faktor kehidupan yang ada di sana. Allah Swt berfirman, “Katakanlah, ‘Berjalanlah di bumi, maka perhatikanlah bagaimana (Allah) memulai penciptaan (makhluk).” (QS. al-Ankabut [29]: 20). Perlu dicatat di sini bahwa firman Allah “Berjalanlah di bumi” disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak empat kali. Allah Swt berfirman, “Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang yakin.” (QS. adz-Dzuriyat [51]: 20).

Kelima, Seruan untuk Menggugah Pikiran
Islam sering memberikan kata-kata motivasi yang menggugah pikiran, mengarahkan pemahaman, dan membangkitkan kepekaan indera dan emosi. Sebagai contoh adalah ketika mengakhiri penjelasan ayat-ayat tentang alam dan hukum, semisal firman Allah Swt:
“Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mengerti.” (QS. ar-Rum [30]: 24).
“Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berpikir.” (QS. ar-Ra‘d [13]: 3).
“Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.” (QS. Thaha [20]: 54). 
Masih dalam surah yang sama, Thaha, juga terdapat ungkapan serupa, yaitu pada ayat 128, “Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.”
“Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang yang mendengar.” (QS. Yunus [10]: 67).
“(Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.” (QS. al-Baqarah [2]: 221).
“Hanya orang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.” (QS. ar-Ra‘d [13]: 19).
Ûlu al-albâb, seperti yang terdapat dalam surah ar-Ra‘d di atas, adalah orang-orang yang mempunyai akal, pemahaman, kesadaran, dan pengertian. Mereka disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak enam belas kali. 

Keenam, Tinjuan yang Kritis dan Perseptif
Islam menyeru seluruh manusia untuk melihat semua pernyataan yang mereka dengar dengan kritis, sadar, dan perseptif, agar bisa menilai segala sesuatu secara logis dan benar, lalu mengikuti perkataan yang menunjukkan kepada kebenaran dan membimbing kepada kebaikan. Orang-orang yang mendengarkan perkataan seperti itu bakal melangkah di atas jalan petunjuk. Mengapa tidak? Mereka diberi petunjuk oleh Allah Saw karena memiliki akal sehat. Allah Swt berfirman, “... sebab itu sampaikanlah kabar gembira itu kepada hamba-hamba-Ku, (yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang memiliki akal sehat.” (QS. az-Zumar [39]: 17-18).

Ketujuh, Mencela Orang-orang Lalai
Islam mencela orang-orang yang lalai dan malas dan memperingatkan kelalaian dan keberpalingan mereka dari bukti-bukti ayat kauniyah (alam semesta) yang mereka saksikan. Sejatinya mereka melihat bukti-bukti itu setiap saat, namun mereka melalaikan dan berpaling darinya. Ayat-ayat kauniyah memperlihatkan bukti-bukti yang nyata kepada mereka setiap saat, namun mereka seperti kata pepatah, “Anjing bergonggong kafilah berlalu.” Mereka berpaling dari semua tanda-tanda kebesaran Allah. Tidakkah mereka berjalan di muka bumi yang terbentang luas, lalu menggunakan hati untuk memahami dan telinga untuk mendengar? 
Ya, sesungguhnya bukanlah mata yang buta, melainkan hati di dalam dada yang merupakan sumber perasaan dan sensasi. Mereka lalai dan berpaling dari bukti-bukti kebesaran Allah di alam semesta. Mereka punya hati, tapi tidak dipergunakan untuk memahami. Mereka punya mata, tapi tidak dipergunakan untuk melihat. Mereka punya telinga, tapi tidak dipergunakan untuk mendengar. Mereka benar-benar seperti binatang, bahkan lebih sesat dari binatang karena kelalaian mereka. Allah Swt, “Dan berapa banyak tanda-tanda (kebesaran Allah) di langit dan di bumi yang mereka lalui, namun mereka berpaling darinya.” (QS. Yusuf [12]: 105). 

Kedelapan, Menghadapi Orang-orang yang Terkungkung Tradisi
Islam mencela orang-orang yang terkungkung tradisi dan berpaling dari kebenaran yang disampaikan oleh para nabi dan utusan Allah. Mereka bersikeras mengikuti tradisi yang mereka dapati dari nenek moyang dan melakukan kemungkaran dengan mengatasnamakan agama. Mereka berbuat seperti itu karena fanatik terhadap status quo dan taklid buta yang bertentangan dengan logika dan akal sehat. Allah Swt berfirman:
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Marilah (mengikuti) apa yang diturunkan Allah dan (mengikuti) Rasul.’ Mereka menjawab, ‘Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati nenek moyang kami (mengerjakannya).’ Apakah (mereka akan mengikuti) juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (QS. al-Maidah [5]: 104). 
Apabila dikatakan kepada orang-orang semacam itu, “Ikutilah jalan petunjuk yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab, “Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek moyang kami,” walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun dan tidak mendapat petunjuk.
Ketika berbuat keburukan, mereka berulang kali mengatakan bahwa nenek moyang mereka berbuat seperti itu dan mereka diperintahkan untuk melakukannya. Seharusnya mereka tahu bahwa Allah Swt tidak pernah memerintahkan keburukan. Mereka mengatakan sesuatu kepada Allah yang tidak mereka ketahui. 
Allah Swt menjelaskan kepada kita akibat yang akan menimpa manusia lantaran bertaklid buta. Allah Swt berfirman:
“Pada hari (ketika) wajah mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata, ‘Wahai, kiranya dahulu kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul.’ Dan mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati para pemimpin dan para pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan laknatlah mereka dengan laknat yang besar.’” (QS. al-Ahzab [33]: 66-68).

Analisis atas Fenomena Taklid Buta
Taklid buta membawa petaka yang sangat buruk bagi individu dan masyarakat karena akan mematikan talenta berpikir, kreativitas, dan inovasi. Taklid buta merupakan batu sandungan bagi pola pikir yang sehat dan membekukan potensi berpikir dan inovasi seseorang. Dengan taklid buta, potensi seseorang menjadi lamban, stagnan, dan tidak berkembang.
Taklid buta menjadikan seseorang tidak dapat membedakan antara yang hak dan yang batil, antara yang benar dan yang salah. Dia tidak akan bisa membedakan antara tradisi kebaikan dan tradisi keburukan. Tidak hanya itu, dia juga mendorong keluarganya untuk berpaling dari kebenaran dan memusuhi orang-orang yang memperjuangkannya. Dia menyeru mereka untuk merintangi berbagai upaya perbaikan dan mempertahankan keyakinan status quo yang diwariskan dari nenek moyang dengan menggunakan fanatisme golongan. 
Keyakinan tersebut didasarkan kepada peninggalan dan tradisi leluhur meski tidak dipahami maknanya. Bahkan, para pewaris menganggapnya sebagai sesuatu yang sakral sehingga akal sehat yang dapat menentukan keabsahan dan tidaknya pun dikesampingkan.
Taklid buta mendorong mereka kepada fanatisme golongan guna mempertahankan ajaran yang diwariskan. Semua ajaran baru yang bertentangan dengannya atau mengurangi kesakralannya ditentang habis-habisan, meskipun ajaran baru itu menawarkan perbaikan mendasar dan substansial bagi kebaikan manusia.
Cukup banyak ayat al-Qur’an yang menerangkan fenomena ini, semisal firman Allah Swt tentang penentangan umat-umat terdahulu terhadap dakwah para rasul Allah yang diutus kepada mereka, 
“Dan demikian juga ketika Kami mengutus seorang pemberi peringatan sebelum engkau (Muhammad) dalam suatu negeri, orang-orang yang hidup mewah (di negeri itu) selalu berkata, ‘Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu (agama) dan sesungguhnya kami sekadar pengikut jejak-jejak mereka.’ (Rasul itu) berkata, ‘Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih baik daripada apa yang kamu peroleh dari (agama) yang dianut nenek moyangmu?’ Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami mengingkari (agama) yang kamu diperintahkan untuk menyampaikannya.’” (QS. az-Zukhruf [43]: 23-24). 
Sebagaimana umat-umat yang terdahulu, Suku Quraisy juga menentang seruan Nabi Muhammad Saw. Mereka merasa heran dengan kehadiran pemberi peringatan dari kalangan mereka sendiri. Mereka menuduh Muhammad Saw berbohong dan menggunakan sihir, bahkan mengejeknya secara berlebihan demi membela tuhan-tuhan mereka yang tidak bisa mendatangkan kemudaratan ataupun manfaat. Semua seruan menuju jalan petunjuk mereka tolak mentah-mentah.
Konsekuensi Taklid Buta
Taklid buta dan keyakinan terhadap warisan yang disakralkan—seperti sudah disinggung sebelumnya—sangat membahayakan individu dan masyarakat. Coba perhatikan! Orang-orang Quraisy itu sangat mengenal Rasulullah Saw, bahkan sangat mengenalnya luar dalam. Mereka mengetahui betul kejujuran dan sifat amanahnya, termasuk perilaku dan pergaulannya yang tepuji. Namun demikian, fanatisme golongan yang didasarkan kepada taklid buta dan sakralisasi tradisi nenek moyang menjadikan mereka meresa asing terhadap dakwah Rasulullah Saw, kemudian mengingkari dan mengejeknya. 
Fakta di atas semakin mengukuhkan bahwa ajaran dan keyakinan yang didasarkan kepada warisan dan taklid buta, tanpa pengkajian atau penelitian, pada akhirnya bakal disakralkan oleh para pewarisnya. Karena itu mereka tidak mau memikirkan secara sadar dan benar tentang dampak buruk dan kebatilannya. Selanjutnya mereka dihinggapi fanatisme golongan yang membabi buta untuk mempertahankan ajaran tersebut dari segala seruan yang bertentangan dengannya atau mengganggu kesakralannya.
Islam mengajari kita untuk bersikap toleran, tidak fanatik, dan menerima orang lain, karena semua orang sama-sama memiliki hak asasi dalam kehidupan. Islam juga mengajari kita untuk menghargai pendapat orang lain dan berdialog dengan cara yang elok. Islam mempercayai adanya pluralitas pemikiran dan menolak pendapat tunggal. Pada saat yang sama, Islam menyerukan untuk bersikap saling memberi dan menerima, dan melakukan dialog antar budaya. Sebab, Allah Swt menciptakan kita dengan tujuan saling mengenal dan saling memahami satu sama lain guna menciptakan realitas yang lebih baik bagi seluruh umat manusia. Hal itu dapat dicapai dengan cara bertukar ide dan pengalaman, bukan dengan konfrontasi dan konflik. 
Bangsa, kelompok, atau masyarakat yang berpegang kepada keyakinan dan ajaran yang diwariskan, yang tidak bersandar kepada pandangan dan pemikiran yang benar, akan menjadi bangsa yang jumud dan terbelakang. Sebab, pegangan mereka tidak didasarkan kepada fondasi yang benar. Mereka hanya bersandar kepada tradisi yang didasarkan kepada taklid buta dan sakralisasi warisan leluhur tanpa menggunakan akal dan pikiran sedikit pun.
Menghilangkan Kekuasaan yang Dipertuhankan
Dengan pilar penting ini, yang titik tolaknya adalah membebaskan manusia dari belenggu kejumudan dan taklid buta serta mendidiknya untuk berpikir dan berkehendak secara bebas, Islam yang hanif berupaya menghilangkan kekuasaan yang dipertuhankan oleh para pemimpin yang sesat dan menyesatkan. Islam mencabut selendang kesucian yang mereka sandang, karena dengan selendang itu mereka mengelabui orang banyak bahwa kemuliaan mereka tidak bisa dikritik atau diganggu gugat. Islam memberlakukan hukum pertanggungjawaban dan balasan kepada mereka seperti yang diberlakukan kepada orang lain.
Demikianlah, Islam telah menjelaskan bahwa hak untuk disembah dan menetapkan hukum hanyalah milik Allah yang Esa. Islam menyeru para tahanan tradisi dan taklid buta untuk membebaskan diri mereka dari belenggu yang memasung akal dan pemahaman dan kotoran yang menutupi telinga dan mata mereka. Islam menetapkan dengan jelas bahwa manusia mempunyai hak untuk berpikir, berkeyakinan, berpendapat, dan berkehendak secara bebas. Kapan pun dan di mana pun, Islam membuka jalan selebar-lebarnya bagi kebebasan berpikir dan berkehendak. Islam sudah mempersiapkan kedudukan yang layak bagi kemanusiaan dan kemuliaannya.
Allah Swt juga telah menjelaskan bahwa manusia tidak diciptakan untuk menjadi hamba penurut seperti kerbau yang dicocok, dan pada saat yang sama Dia tidak memberikan hak kepada siapa pun untuk menguasai akal, pikiran dan kehendak orang lain. Allah menciptakan manusia dalam keadaan merdeka untuk mengendalikan dirinya sendiri dan hanya menjadi hamba bagi Tuhan yang Esa. Allah menjadikannya berpikir dengan akalnya, mencari panduan dengan talenta dan potensi yang diberikan kepadanya, dan berbuat sesuai dengan pilihannya. Allah memandunya dengan cahaya ilmu dalam mengarungi perjalanan kehidupan, membuat keputusan, dan menunaikan pekerjaannya.
Allah Swt memberitahukan dan mengajarkan kepada manusia bahwa dia hanya diperkenankan menyembah kepada Sang Pencipta yang Mahaagung. Keyakinan dan perilakunya harus mengikuti agama yang mempunyai dalil dan bukti. 
Pada bagian akhir paparan saya tentang salah satu pilar utama manhaj Islam dalam membebaskan akal dan pikiran ini, saya tidak lupa ingin mengatakan dua substansi penting yang terkadang salah dipahami oleh sebagian orang.
Substansi Pertama 
Taklid yang saya maksudkan di sini adalah taklid yang dikecam dan sangat ditentang oleh Islam, seperti yang telah saya jelaskan dampak buruknya bagi individu dan masyarakat. Di penghujung tulisan ini saya ingin menekankan bahwa taklid yang dimaksud di sini adalah taklid buta yang berangkat dari kejumudan dan mempertahankan tradisi lama yang diwariskan tanpa sedikit pun memikirkannya. Tradisi tersebut diikuti secara membabi buta. Semua seruan pembaruan yang tidak sejalan dengannya ditentang habis-habisan, meskipun seruan baru itu membawa kebaikan bagi manusia atau lebih lurus dan benar jalannya.
Taklid yang saya maksud di sini adalah taklid yang membuat seseorang tidak dapat membedakan antara tradisi kebaikan dan tradisi keburukan. Taklid ini menjadikannya tidak dapat membedakan antara mengikuti kebenaran dari para pemimpin yang mendapat petunjuk, ulama yang saleh, para pemikir yang tercerahkan, dan para pemimpin yang reformis dengan mengikuti kebatilan para pemimpin yang sesat, menyesatkan, dan tidak dapat mengendalikan hawa nafsu, atau kebatilan dari orang-orang yang egois dan mementingkan diri sendiri.
Itulah taklid yang dikecam dan sangat ditentang oleh Islam. Adapun taklid kepada ahli kebaikan dan kebenaran, yaitu para pemimpin yang mendapatkan petunjuk, para ulama dan intelektual yang moderat, mantap ilmu pengetahuannya, perilaku saleh sebagai karakternya, yang mendasarkan pemikiran, ilmu, dan ajaran mereka kepada petunjuk Allah Yang Mahaagung dan Sunah Nabi Saw yang suci, yang istikamah di atas jalan terbaik dan dalil yang terang benderang, maka taklid seperti itu tidak termasuk taklid buta. Mengikuti mereka semata karena teladan mereka menyadarkan dan mencerahkan. Sebab, apabila kita tidak tahu, tentu kita harus mengikuti para ulama. Allah Swt berfirman, “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl [16]: 43).
Perlu dikatakan di sini bahwa frasa ahl al-dzikr (orang-orang yang mempunyai pengetahuan) disebutkan dalam al-Quran dua kali, sedangkan kata al-dzikr sendiri diulang 19 kali. 
Al-‘Irbad bin Sariyah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya orang-orang yang hidup setelahku akan melihat banyak perselisihan. Maka, hendaklah kalian berpegang dengan Sunahku dan Sunah para khalifah yang lurus dan mendapat petunjuk.” (Muttafaq ‘alaih).
Berpegang teguh kepada Kitab Allah dan Sunah Rasulullah Saw merupakan cara melindungi diri dari pendapat dan hawa nafsu yang menyesatkan, mencari selamat dari keburukan perpecahan dan pertentangan, dan keluar dari kegelapan kebodohan. Kemudian bertanyalah kepada ulama yang mantap ilmunya, menjaga amanah ilmunya, dan moderat dalam berpikirnya apabila merasa diri kita tidak tahu.
Substansi Kedua
Kebebasan berpikir yang dijadikan Islam sebagai panduan berpikir yang benar dan mercusuar bagi akal untuk menemukan ajaran yang benar dan baik adalah kebebasan yang melepaskan akal dan pikiran kita dari belenggu kejumudan dan penindasan intelektual. Kebebasan tersebut membebaskan akal dari kendali taklid buta dan mengungkap ajaran kebenaran yang disembunyikannya.
Kebebasan yang saya maksud di sini adalah kebebasan yang diserukan oleh Islam, yaitu bahwa manusia senantiasa merdeka selama ia tidak mengganggu orang lain. Perlu diperhatikan bahwa kepemimpinan harus diarahkan untuk membina, memperbaiki, dan mendidik, bukan untuk menghancurkan dan menyesatkan. Itulah kepemimpinan yang komponen ilmiahnya bersumber dari petunjuk dan ajaran Islam, kematangan akal, dan kelurusan berpikir. Ia didasarkan kepada premis dan logika yang benar, dalil dan bukti, serta ditunjang dengan investigasi yang cermat dalam memahami teks-teks Kitab Allah dan Sunah Nabi Saw. Keduanya dijadikan dalil sesuai dengan prinsip-prinsip berpikir. 
Orang-orang yang berpengaruh dan berkuasa harus memahami betul al-Qur’an dan Sunah, berangkat dari pemahamannya terhadap dalil-dalil khusus, tema-tema bahasa Arab, dan budaya Islam secara umum. Sebab, apabila sebuah urusan diserahkan kepada orang-orang yang memahami dan menarik kesimpulan sesuai dengan selera dan keinginannya, niscaya keseimbangan salah dan benar akan terganggu, berbagai hakikat akan tersembunyi di tengah-tengah hawa nafsu, karena akal dan pemahaman setiap orang berbeda-beda dan mereka dikendalikan oleh hawa nafsu dan kecenderungan. Sementara itu, orang–orang yang idealis dan tetap dalam keidealisannya jarang sekali, di mana pun dan kapan pun. 
Inilah kebebasan berpikir yang dikumandangkan oleh Islam. Islam menjadikannya sebagai mercusuar akal dan panduan berpikir. Kapan kita akan menyadari dan memikirkan hal ini?[]

free counters