Gede Prama memulai talkshow dengan bercerita tentang tokoh asal Timur
Tengah, Nasruddin. Suatu hari, Nasruddin mencari sesuatu di halaman rumahnya
yang penuh dengan pasir. Ternyata dia mencari jarum.
Tetangganya yang merasa kasihan, ikut membantunya mencari jarum tersebut.
Tetapi selama sejam mereka mencari, jarum itu tak ketemu juga.
Tetangganya bertanya, "Jarumnya jatuh dimana?"
"Jarumnya jatuh di dalam," jawab Nasruddin.
"Kalau jarum bisa jatuh di dalam, kenapa mencarinya di luar?" tanya
tetangganya. Dengan ekspresi tanpa dosa, Nasruddin menjawab, "Karena di
dalam gelap, di luar terang."
Begitulah, kata Gede Prama, perjalanan kita mencari kebahagiaan dan
keindahan. Sering kali kita mencarinya di luar dan tidak mendapat apa-apa.
Sedangkan daerah tergelap dalam mencari kebahagiaan dan keindahan,
sebenarnya adalah daerah-daerah di dalam diri. Justru letak 'sumur'
kebahagiaan yang tak pernah kering, berada di dalam. Tak perlu juga
mencarinya jauh-jauh, karena 'sumur' itu berada di dalam semua orang.
Sayangnya karena faktor peradaban, keserakahan dan faktor lainnya, banyak
orang mencari sumur itu di luar. Ada orang yang mencari bentuk
kebahagiaannya dalam kehalusan kulit, jabatan, baju mahal, mobil bagus atau
rumah indah. Tetapi kenyataannya, setiap pencarian di luar tersebut akan
berujung pada bukan apa-apa. Karena semua itu, tidak akan
berlangsung lama. Kulit, misalnya, akan keriput karena termakan usia, mobil
mewah akan berganti dengan model terbaru, jabatan juga akan hilang
karena pensiun.
"Setiap perjalanan mencari kebahagiaan dan keindahan di luar, akan selalu
berujung pada bukan apa-apa, leads you nowhere. Setiap kekecewaan hidup yang
jauh dari keindahan dan kebahagiaan, berangkat dari mencarinya di luar,"
tegas Gede Prama. Untuk mencapai tingkatan kehidupan yang penuh keindahan
dan kebahagiaan, seseorang harus melalui
5(lima) buah 'pintu' yang menuju ke tempat tersebut.
Pintu pertama adalah stop comparing, start flowing.
"Stop membandingkan dengan yang lain. Seorang ayah atau ibu belajar untuk
tidak membandingkan anak dengan yang lain. Karena setiap pembandingan akan
membuat anak-anak mencari kebahagiaan di luar," ujar Gede Prama.
Setiap penderitaan hidup manusia, setiap bentuk ketidakindahan, menurut Gede
Prama, dimulai dari membandingkan. Gede Prama mencontohkan orang kaya
berkulit hitam yang tidak dapat menerima kenyataan bahwa dia berkulit hitam.
Orang itu sering kali membandingkan dirinya dengan orang
kulit putih.
"Uangnya banyak, mampu mengongkosi hobinya untuk operasi plastik.
Sehingga orang yang hidup dari satu perbandingan ke perbandingan lain, maka
hidupnya kurang lebih sama dengan seorang orang kaya itu. Leads you
nowhere," kata Gede Prama dengan logatnya yang khas.
Karena itu, Gede Prama mengajak peserta ke sebuah titik, mengalir
(flowing) menuju ke kehidupan yang paling indah di dunia, yaitu menjadi diri
sendiri. Apa yang disebut flowing ini sesungguhnya sederhana saja.
Kita akan menemukan yang terbaik dari diri kita, ketika kita mulai belajar
menerimanya. Sehingga kepercayaan diri juga dapat muncul.
Kepercayaan diri ini berkaitan dengan keyakinan-keyakinan yang kita bangun
dari dalam. "Tidak ada kehidupan yang paling indah dengan menjadi
diri sendiri. Itulah keindahan yang sebenar-benarnya! " kata Gede Prama.
Pintu kedua menuju keindahan dan kebahagiaan adalah memberi. Sebab utama
kita berada di bumi ini, kata Gede Prama, adalah untuk memberi.
"Kalau masih ragu dengan kegiatan memberi, artinya kita harus memberi lebih
banyak," ujar Gede Prama.
"Saya melihat ada 3 tangga emas kehidupan; I intend good, I do good and I am
good. Saya berniat baik, saya melakukan hal yang baik, kemudian saya menjadi
orang baik. Yang baik-baik itu bisa kita lakukan, bila kita
konsentrasi pada hal memberi," lanjut Gede Prama lagi. Memberi tidak harus
selalu dalam bentuk materi. Pemberian dapat berbentuk senyum, pelukan,
perhatian. Dan setiap manusia yang sudah rajin memberi, dia akan memasuki
wilayah beauty and happiness.
"Saya sering bertemu dengan orang-orang kaya. Ada yang suka memberi, ada
yang pelit. Saya melihat orang yang tidak suka memberi muka orang itu
keringnya minta ampun. Orang yang mukanya kering ini bertanya pada saya,
apa rahasia kehidupan yang paling penting yang bisa saya bagi ke saya.
Saya bilang sleep well, eat well," ungkap Gede Prama sambil tersenyum.
Artinya memang, untuk ongkos untuk menjadi bahagia tidak mahal. Hanya saja
orang sering kali memperumit hal yang sudah rumit. Kalau kita sederhanakan,
sleep well, eat well akan jadi mudah jika diikuti dengan kegiatan memberi.
Pintu ketiga untuk menuju keindahan dan kebahagiaan adalah berawal dari
semakin gelap hidup Anda, semakin terang cahaya Anda di dalam.
Perhatikanlah bintang di malam hari tampak bercahaya, jika langitnya gelap.
Sedangkan, lilin di sebuah ruangan akan bercahaya bagus, jika ruangannya
gelap. Artinya, semakin Anda berhadapan dengan masalah dan cobaan dalam
hidup, semakin bercahaya Anda dari dalam.
"Jika Anda punya suami yang keras dan marah-marah, jangan lupa bersyukurlah.
Karena suami yang keras dan marah-marah, membuat sinar dari dalam diri Anda
bercahaya. Anda punya istri cerewetnya minta ampun. Bersyukurlah, karena
orang cerewet adalah guru kehidupan terbaik. Paling tidak dari orang
cerewet kita belajar tentang kesabaran.
Jika Anda punya atasan diktatornya minta ampun. Bersyukurlah, karena Anda
dapat belajar tentang kebijaksanaan, " ujar Gede Prama membesarkan hati.
Orang yang pada akhirnya menemukan keindahan dan kebahagiaan, menurut Gede
Prama, biasanya telah lulus dari universitas kesulitan. Semakin banyak
kesulitan hidup yang kita hadapi, semakin diri kita bercahaya dari dalam.
Mengutip perkataan Jamaluddin Rumi, semuanya dikirim sebagai pembimbing
kehidupan dari sebuah tempat yang tidak terbayangkan.
"Tidak hanya orang cantik saja yang berguna, orang jelek juga berguna.
Gunanya adalah karena orang jelek, orang cantik terlihat jadi tambah
cantik," kata Gede Prama disambut tawa peserta. "Jadi semuanya ada gunanya,
untuk menghidupkan cahaya-cahaya beauty and happiness,"
tegasnya.
Pintu keempat adalah surga bukanlah sebuah tempat, melainkan adalah
rangkaian sikap. "Bila Anda melihat hidup penuh dengan kesusahan dan godaan,
maka neraka tidak ketemu setelah mati. Neraka sudah ketemu sekarang," ujar
Gede Prama.
Sedangkan Anda akan bertemu surga, jika hasil dari rangkaian sikap Anda
benar. Sikap ini dimulai dari berhenti mengkhawatirkan segala sesuatunya,
dan coba yakinkan diri bahwa everything will be allright.
Setiap kali kita melalukan ritual peribadatan, tetapi setiap kali pula kita
merasa takut. Padahal ketakutan adalah sebentuk ketidakyakinan terhadap
kebenaran.
"Kalau Anda melalukan ritual peribadatan tapi masih takut, mending jangan
melalukan ritual peribadatan, karena toh Anda tidak yakin terhadap
kebenaran," kata Gede Prama.
"Segala sesuatunya menjadi baik-baik saja jika Anda mencintai yang kecil,"
sambung Gede Prama.
Pintu kelima menuju keindahan dan kebahagiaan yakni tahu diri kita dan kita
tahu kehidupan. Manusia-manusia yang tidak tahu diri adalah manusia
yang tidak pernah ketemu keindahan dan kebahagiaan dalam hidupnya.
"Sumur kehidupan yang tidak pernah kering berada di dalam. Sumur ini hanya
kita temukan dan kita timba airnya kalau kita bisa mengetahui diri kita
sendiri," kata Gede Prama.
Seandainya diri sendiri telah ditemukan, maka artinya kita kemudian
mengetahui kehidupan.
I asked God to take away my pride. And God said "No". He said it was not
for Him to take away, but for me to give up.
I asked God to grant me patience. And God said "No". He said patience is a
by-product of tribulations. It isn't granted, it is earned.
I asked God to give me happiness. And God said "No". He said He gives me
blessings, happiness is up to me.
I asked God to spare me pain. And God said "No". He said suffering draws me
apart from worldly cares and brings me closer to Him.
I asked God to make my spirit grow. And God said "No". He said I must grow
on my own. But He will prune me to make me fruitful.
I asked for all things that I might enjoy life. And God said "No". He said
He will give me life, that I may enjoy all things.
I ask God to help me love others, as much as he loves me. And God said "Ah,
finally you have the idea!"
Popular Posts in last 30 days
-
Satu Jam Bersama Ayah Ayah yang terlalu sibuk adalah seorang ayah yang sangat larut dalam pekerjaannya. Setiap hari ia berangkat sebelum an...
-
The paradox of our time in history is that we have taller buildings, but shorter tempers; wider freeways, but narrower viewpoints; we spend...
-
Hidup itu unik, Tiap orang punya kertas soal yang berbeda dengan yang lainnya, Untuk menjawab pertanyaan didalamnya perlu jawaban...
-
Serangan ke World Trade Center : Potongan besi dalam bentuk linear, besi terpotong secara diagonal : ...
-
-
-
MOET LEES ASB JULLE JONG DAME EN MEISIES Two young ladies arrived to a meeting wearing clothes that were quite revealing their ...
-
TUYUL merupakan salah satu yang paling ditakuti oleh manusia. Namun, ada juga yang malah memeliharanya. Menurut kebanyakan orang, tuyu...
-
Mia Lasmini Fitria One sunrise ago at 8:19in the mornin' · Jangan Pisahkan Dunia dengan Agama 29 October 2015 Jangan pisa...
-
Kehidupan pernikahan kami awalnya baik2 saja menurutku. Meskipun menjelang pernikahan selalu terjadi konflik, tapi setelah menikah Mario tam...
Happiness Gede Prama Off Air : Stop Comparing, Start Flowing !
Posted by
djaheel
on Sunday, February 22, 2009
M E M I L I H
Posted by
djaheel
/
Comments: (0)
Di saat menuju jam-jam istirahat kelas, dosen mengatakan pada
mahasiswa/siswinya:
"Mari kita buat satu permainan, mohon bantu saya sebentar."
Kemudian salah satu mahasiswi berjalan menuju pelataran papan tulis.
DOSEN: Silahkan tulis 20 nama yang paling dekat dengan anda, pada papan
tulis.
Dalam sekejap sudah di tuliskan semuanya oleh siswi tersebut. Ada nama
tetangganya, teman kantornya, orang terkasih dan lain-lain.
DOSEN: Sekarang silahkan coret satu nama diantaranya yang menurut anda
paling tidak penting!
Siswi itu lalu mencoret satu nama, nama tetangganya.
DOSEN: Silahkan coret satu lagi!
Kemudian Siswi itu mencoret satu nama teman kantornya lagi.
DOSEN: Silahkan coret satu lagi!
Siswi itu mencoret lagi satu nama dari papan tulis dan seterusnya. Sampai
pada akhirnya diatas papan tulis hanya tersisa tiga nama, yaitu nama orang
tuanya, suaminya dan nama anaknya.
Dalam kelas tiba-tiba terasa begitu sunyi tanpa suara, semua mahasiswa/siswi
tertuju memandang ke arah dosen, dalam pikiran mereka (para siswa/i) mengira
sudah selesai tidak ada lagi yang harus dipilih oleh siswi itu. Tiba-tiba
dosen memecahkan keheningan dengan berkata, "Silahkan coret satu lagi!"
Dengan pelahan-lahan siswi itu melakukan suatu pilihan yang amat sangat
sulit. Dia kemudian mengambil kapur tulis, mencoret nama orang tuanya.
DOSEN: Silahkan coret satu lagi! Hatinya menjadi bingung. Kemudian ia
mengangkat kapur tulis tinggi-tinggi. lambat laun menetapkan dan mencoret
nama anaknya. Dalam sekejap waktu,terdengar suara isak tangis, sepertinya
sangat sedih.
Setelah suasana tenang, Dosen lalu bertanya "Orang terkasihmu bukannya Orang
tuamu dan Anakmu? Orang tua yang membesarkan anda, anak adalah anda yang
melahirkan, sedang suami itu bisa dicari lagi. Tapi mengapa anda berbalik
lebih memilih suami sebagai orang yang paling sulit untuk dipisahkan?"
Semua teman sekelas mengarah padanya, menunggu apa yang akan di jawabnya.
Setelah agak tenang, kemudian pelahan-lahan ia berkata "Sesuai waktu yang
berlalu, orang tua akan pergi dan meninggalkan saya, sedang anak jika sudah
besar setelah itu menikah bisa meninggalkan saya juga, Yang benar-benar bisa
menemani saya dalam hidup ini hanyalah suami saya".
SEBENARNYA, KEHIDUPAN BAGAIKAN BAWANG BOMBAI, JIKA DIKUPAS SESIUNG DEMI
SESIUNG, ADA KALANYA KITA DAPAT DIBUAT MENANGIS
mahasiswa/siswinya:
"Mari kita buat satu permainan, mohon bantu saya sebentar."
Kemudian salah satu mahasiswi berjalan menuju pelataran papan tulis.
DOSEN: Silahkan tulis 20 nama yang paling dekat dengan anda, pada papan
tulis.
Dalam sekejap sudah di tuliskan semuanya oleh siswi tersebut. Ada nama
tetangganya, teman kantornya, orang terkasih dan lain-lain.
DOSEN: Sekarang silahkan coret satu nama diantaranya yang menurut anda
paling tidak penting!
Siswi itu lalu mencoret satu nama, nama tetangganya.
DOSEN: Silahkan coret satu lagi!
Kemudian Siswi itu mencoret satu nama teman kantornya lagi.
DOSEN: Silahkan coret satu lagi!
Siswi itu mencoret lagi satu nama dari papan tulis dan seterusnya. Sampai
pada akhirnya diatas papan tulis hanya tersisa tiga nama, yaitu nama orang
tuanya, suaminya dan nama anaknya.
Dalam kelas tiba-tiba terasa begitu sunyi tanpa suara, semua mahasiswa/siswi
tertuju memandang ke arah dosen, dalam pikiran mereka (para siswa/i) mengira
sudah selesai tidak ada lagi yang harus dipilih oleh siswi itu. Tiba-tiba
dosen memecahkan keheningan dengan berkata, "Silahkan coret satu lagi!"
Dengan pelahan-lahan siswi itu melakukan suatu pilihan yang amat sangat
sulit. Dia kemudian mengambil kapur tulis, mencoret nama orang tuanya.
DOSEN: Silahkan coret satu lagi! Hatinya menjadi bingung. Kemudian ia
mengangkat kapur tulis tinggi-tinggi. lambat laun menetapkan dan mencoret
nama anaknya. Dalam sekejap waktu,terdengar suara isak tangis, sepertinya
sangat sedih.
Setelah suasana tenang, Dosen lalu bertanya "Orang terkasihmu bukannya Orang
tuamu dan Anakmu? Orang tua yang membesarkan anda, anak adalah anda yang
melahirkan, sedang suami itu bisa dicari lagi. Tapi mengapa anda berbalik
lebih memilih suami sebagai orang yang paling sulit untuk dipisahkan?"
Semua teman sekelas mengarah padanya, menunggu apa yang akan di jawabnya.
Setelah agak tenang, kemudian pelahan-lahan ia berkata "Sesuai waktu yang
berlalu, orang tua akan pergi dan meninggalkan saya, sedang anak jika sudah
besar setelah itu menikah bisa meninggalkan saya juga, Yang benar-benar bisa
menemani saya dalam hidup ini hanyalah suami saya".
SEBENARNYA, KEHIDUPAN BAGAIKAN BAWANG BOMBAI, JIKA DIKUPAS SESIUNG DEMI
SESIUNG, ADA KALANYA KITA DAPAT DIBUAT MENANGIS
Pencuri Impian
Posted by
djaheel
/
Comments: (0)
Ada seorang gadis muda yang sangat suka menari. Kepandaiannya menari sangat menonjol dibanding dengan rekan-2nya, sehingga dia seringkali menjadi juara di berbagai perlombaan yang diadakan. Dia berpikir, dengan apa yang dimilikinya saat ini, suatu saat apabila dewasa nanti dia ingin menjadi penari kelas dunia. Dia membayangkan dirinya menari di Rusia, Cina, Amerika, Jepang, serta ditonton oleh ribuan orang yang memberi tepukan kepadanya.
Suatu hari, dikotanya dikunjungi oleh seorang pakar tari yang berasal dari luar negeri. Pakar ini sangatlah hebat,dan dari tangan dinginnya telah banyak dilahirkan penari-penari kelas dunia. Gadis muda ini ingin sekali menari dan menunjukkan kebolehannya di depan sang pakar tersebut, bahkan jika mungkin memperoleh kesempatan menjadi muridnya. Akhirnya kesempatan itu datang juga. Si gadis muda berhasil menjumpai sang pakar di belakang panggung, seusai sebuah pagelaran tari. Si gadis muda bertanya "Pak, saya ingin sekali menjadi penari kelas dunia. Apakah anda punya waktu sejenak, untuk menilai saya menari ? Saya ingin tahu pendapat anda tentang tarian saya".
"Oke, menarilah di depan saya selama 10 menit", jawab sang pakar.
Belum lagi 10 menit berlalu, sang pakar berdiri dari kursinya, lalu berlalu meninggalkan si gadis muda begitu saja, tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Betapa hancur si gadis muda melihat sikap sang pakar.Si gadis langsung berlari keluar. Pulang kerumah, dia langsung menangis tersedu-sedu.
Dia menjadi benci terhadap dirinya sendiri. Ternyata tarian yang selama ini dia bangga-banggakan tidak ada apa-apanya di hadapan sang pakar.
Kemudian dia ambil sepatu tarinya, dan dia lemparkan ke dalam gudang. Sejak saat itu, dia bersumpah tidak pernah akan menari lagi.
Puluhan tahun berlalu. Sang gadis muda kini telah menjadi ibu dengan tiga orang anak. Suaminya telah meninggal. Dan untuk menghidupi keluarganya, dia bekerja menjadi pelayan dari sebuah toko di sudut jalan.
Suatu hari, ada sebuah pagelaran tari yang diadakan di kota itu.
Nampak sang pakar berada di antara para menari muda di belakang panggung.
Sang pakar nampak tua, dengan rambutnya yang sudah putih. Si ibu muda dengan tiga anaknya juga datang ke pagelaran tari tersebut. Seusai acara, ibu ini membawa ketiga anaknya ke belakang panggung, mencari sang pakar, dan memperkenalkan ketiga anaknya kepada sang pakar. Sang pakar masih mengenali ibu muda ini, dan kemudian mereka bercerita secara akrab.
Si ibu bertanya, "Pak, ada satu pertanyaan yang mengganjal di hati saya. Ini tentang penampilan saya sewaktu menari di hadapan anda bertahun-tahun yang silam. Sebegitu jelekkah penampilan saya saat itu, sehingga anda langsung pergi meninggalkan saya begitu saja, tanpa mengatakan sepatah katapun?"
"Oh ya, saya ingat peristiwanya. Terus terang, saya belum pernah melihat tarian seindah yang kamu lakukan waktu itu. Saya rasa kamu akan menjadi penari kelas dunia. Saya tidak mengerti mengapa kamu tiba-2 berhenti dari dunia tari", jawab sang pakar.
Si ibu muda sangat terkejut mendengar jawaban sang pakar.
"Ini tidak adil", seru si ibu muda. "Sikap anda telah mencuri semua impian saya. Kalau memang tarian saya bagus, mengapa anda meninggalkan saya begitu saja ketika saya baru menari beberapa menit. Anda seharusnya memuji saya, dan bukan mengacuhkan saya begitu saja. Mestinya saya bisa menjadi penari kelas dunia. Bukan hanya menjadi pelayan toko!"
Si pakar menjawab lagi dengan tenang "Tidak .... Tidak, saya rasa saya telah berbuat dengan benar. ANDA TIDAK HARUS MINUM ANGGUR SATU BARREL UNTUK MEMBUKTIKAN ANGGUR ITU ENAK. Demikian juga saya. Saya tidak harus menonton anda 10 menit untuk membuktikan tarian anda bagus.
Malam itu saya juga sangat lelah setelah pertunjukkan. Maka sejenak saya tinggalkan anda, untuk mengambil kartu nama saya, dan berharap anda mau menghubungi saya lagi keesokan hari. Tapi anda sudah pergi ketika saya keluar. Dan satu hal yang perlu anda camkan, bahwa ANDA MESTINYA FOCUS PADA IMPIAN ANDA, BUKAN PADA UCAPAN ATAU TINDAKAN SAYA.
Lalu pujian? Kamu mengharapkan pujian? Ah, waktu itu kamu sedang bertumbuh. PUJIAN ITU SEPERTI PEDANG BERMATA DUA. ADA KALANYA MEMOTIVASIMU, BISA PULA MELEMAHKANMU. Dan faktanya saya melihat bahwa sebagian besar PUJIAN YANG DIBERIKAN PADA SAAT SESEORANG SEDANG BERTUMBUH, HANYA AKAN MEMBUAT DIRINYA PUAS DAN PERTUMBUHANNYA BERHENTI. SAYA JUSTRU LEBIH SUKA MENGACUHKANMU, AGAR HAL ITU BISA MELECUTMU BERTUMBUH LEBIH CEPAT LAGI. Lagipula, pujian itu sepantasnya datang dari keinginan saya sendiri. TIDAK PANTAS ANDA MEMINTA PUJIAN DARI ORANG LAIN".
"Anda lihat, ini sebenarnya hanyalah masalah sepele. Seandainya anda pada waktu itu tidak menghiraukan apa yang terjadi dan tetap menari, mungkin hari ini anda sudah menjadi penari kelas dunia.
Mungkin Anda sakit hati pada waktu itu, tapi sakit hati Anda akan cepat hilang begitu Anda berlatih kembali. Tapi sakit hati karena penyesalan Anda hari ini tidak akan pernah bisa hilang selama-lamanya. ".
Suatu hari, dikotanya dikunjungi oleh seorang pakar tari yang berasal dari luar negeri. Pakar ini sangatlah hebat,dan dari tangan dinginnya telah banyak dilahirkan penari-penari kelas dunia. Gadis muda ini ingin sekali menari dan menunjukkan kebolehannya di depan sang pakar tersebut, bahkan jika mungkin memperoleh kesempatan menjadi muridnya. Akhirnya kesempatan itu datang juga. Si gadis muda berhasil menjumpai sang pakar di belakang panggung, seusai sebuah pagelaran tari. Si gadis muda bertanya "Pak, saya ingin sekali menjadi penari kelas dunia. Apakah anda punya waktu sejenak, untuk menilai saya menari ? Saya ingin tahu pendapat anda tentang tarian saya".
"Oke, menarilah di depan saya selama 10 menit", jawab sang pakar.
Belum lagi 10 menit berlalu, sang pakar berdiri dari kursinya, lalu berlalu meninggalkan si gadis muda begitu saja, tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Betapa hancur si gadis muda melihat sikap sang pakar.Si gadis langsung berlari keluar. Pulang kerumah, dia langsung menangis tersedu-sedu.
Dia menjadi benci terhadap dirinya sendiri. Ternyata tarian yang selama ini dia bangga-banggakan tidak ada apa-apanya di hadapan sang pakar.
Kemudian dia ambil sepatu tarinya, dan dia lemparkan ke dalam gudang. Sejak saat itu, dia bersumpah tidak pernah akan menari lagi.
Puluhan tahun berlalu. Sang gadis muda kini telah menjadi ibu dengan tiga orang anak. Suaminya telah meninggal. Dan untuk menghidupi keluarganya, dia bekerja menjadi pelayan dari sebuah toko di sudut jalan.
Suatu hari, ada sebuah pagelaran tari yang diadakan di kota itu.
Nampak sang pakar berada di antara para menari muda di belakang panggung.
Sang pakar nampak tua, dengan rambutnya yang sudah putih. Si ibu muda dengan tiga anaknya juga datang ke pagelaran tari tersebut. Seusai acara, ibu ini membawa ketiga anaknya ke belakang panggung, mencari sang pakar, dan memperkenalkan ketiga anaknya kepada sang pakar. Sang pakar masih mengenali ibu muda ini, dan kemudian mereka bercerita secara akrab.
Si ibu bertanya, "Pak, ada satu pertanyaan yang mengganjal di hati saya. Ini tentang penampilan saya sewaktu menari di hadapan anda bertahun-tahun yang silam. Sebegitu jelekkah penampilan saya saat itu, sehingga anda langsung pergi meninggalkan saya begitu saja, tanpa mengatakan sepatah katapun?"
"Oh ya, saya ingat peristiwanya. Terus terang, saya belum pernah melihat tarian seindah yang kamu lakukan waktu itu. Saya rasa kamu akan menjadi penari kelas dunia. Saya tidak mengerti mengapa kamu tiba-2 berhenti dari dunia tari", jawab sang pakar.
Si ibu muda sangat terkejut mendengar jawaban sang pakar.
"Ini tidak adil", seru si ibu muda. "Sikap anda telah mencuri semua impian saya. Kalau memang tarian saya bagus, mengapa anda meninggalkan saya begitu saja ketika saya baru menari beberapa menit. Anda seharusnya memuji saya, dan bukan mengacuhkan saya begitu saja. Mestinya saya bisa menjadi penari kelas dunia. Bukan hanya menjadi pelayan toko!"
Si pakar menjawab lagi dengan tenang "Tidak .... Tidak, saya rasa saya telah berbuat dengan benar. ANDA TIDAK HARUS MINUM ANGGUR SATU BARREL UNTUK MEMBUKTIKAN ANGGUR ITU ENAK. Demikian juga saya. Saya tidak harus menonton anda 10 menit untuk membuktikan tarian anda bagus.
Malam itu saya juga sangat lelah setelah pertunjukkan. Maka sejenak saya tinggalkan anda, untuk mengambil kartu nama saya, dan berharap anda mau menghubungi saya lagi keesokan hari. Tapi anda sudah pergi ketika saya keluar. Dan satu hal yang perlu anda camkan, bahwa ANDA MESTINYA FOCUS PADA IMPIAN ANDA, BUKAN PADA UCAPAN ATAU TINDAKAN SAYA.
Lalu pujian? Kamu mengharapkan pujian? Ah, waktu itu kamu sedang bertumbuh. PUJIAN ITU SEPERTI PEDANG BERMATA DUA. ADA KALANYA MEMOTIVASIMU, BISA PULA MELEMAHKANMU. Dan faktanya saya melihat bahwa sebagian besar PUJIAN YANG DIBERIKAN PADA SAAT SESEORANG SEDANG BERTUMBUH, HANYA AKAN MEMBUAT DIRINYA PUAS DAN PERTUMBUHANNYA BERHENTI. SAYA JUSTRU LEBIH SUKA MENGACUHKANMU, AGAR HAL ITU BISA MELECUTMU BERTUMBUH LEBIH CEPAT LAGI. Lagipula, pujian itu sepantasnya datang dari keinginan saya sendiri. TIDAK PANTAS ANDA MEMINTA PUJIAN DARI ORANG LAIN".
"Anda lihat, ini sebenarnya hanyalah masalah sepele. Seandainya anda pada waktu itu tidak menghiraukan apa yang terjadi dan tetap menari, mungkin hari ini anda sudah menjadi penari kelas dunia.
Mungkin Anda sakit hati pada waktu itu, tapi sakit hati Anda akan cepat hilang begitu Anda berlatih kembali. Tapi sakit hati karena penyesalan Anda hari ini tidak akan pernah bisa hilang selama-lamanya. ".
Orang Beragama atau Orang Baik?
Posted by
djaheel
/
Comments: (0)
> Seorang lelaki berniat untuk menghabiskan seluruh waktunya untuk beribadah. Seorang nenek yang merasa iba melihat kehidupannya membantunya dengan membuatkan sebuah pondok kecil dan memberinya makan,sehingga lelaki itu dapat beribadah dengan tenang.
>
> Setelah berjalan selama 20 tahun, si nenek ingin melihat kemajuan yang telah dicapai lelaki itu. Ia memutuskan untuk mengujinya dengan seorang wanita cantik. ''Masuklah ke dalam pondok,'' katanya kepada wanita itu,''Peluklah ia dan katakan 'Apa yang akan kita lakukan sekarang'?''
>
> Maka wanita itu pun masuk ke dalam pondok dan melakukan apa yang disarankan oleh si nenek. Lelaki itu menjadi sangat marah karena tindakan yang tak sopan itu. Ia mengambil sapu dan mengusir wanita itu keluar dari pondoknya.
>
> Ketika wanita itu kembali dan melaporkan apa yang terjadi, si nenek menjadi marah. ''Percuma saya memberi makan orang itu selama 20 tahun,''serunya.
>
> ''Ia tidak menunjukkan bahwa ia memahami kebutuhanmu, tidak bersedia untuk membantumu ke luar dari kesalahanmu. Ia tidak perlu menyerah pada nafsu, namun sekurang-kurangnya setelah sekian lama beribadah seharusnya ia memiliki rasa kasih pada sesama.''
>
> Apa yang menarik dari cerita diatas? Ternyata ada kesenjangan yang cukup besar antara taat beribadah dengan memiliki budi pekerti yang luhur. Taat beragama ternyata sama sekali tak menjamin perilaku seseorang.
>
> Ada banyak contoh yang dapat kita kemukakan disini. Anda pasti sudah sering mendengar cerita mengenai guru mengaji yangsuka memperkosa muridnya. Seorang kawan yang rajin shalat lima waktu baru-baru ini di PHK dari kantornya karena memalsukan dokumen. Seorang kawan yang berjilbab rapih ternyata suka berselingkuh. Kawan yang lain sangat rajin ikut pengajian tapi tak henti-hentinya menyakiti orang lain. Adapula kawan yang Berkali-kali menunaikan haji dan umrah tetapi terus melakukan korupsi di kantornya.
>
> Lantas dimana letak kesalahannya? Saya kira persoalan utamanya adalah pada kesalahan cara berpikir. Banyak orang yang memahami agama dalam pengertian ritual dan fiqih belaka. Dalam konsep mereka, beragama berarti melakukan shalat, puasa, zakat, haji dan melagukan (bukannya membaca) Alquran.
>
> Padahal esensi beragama bukan disitu. Esensi beragama justru pada budi pekerti yang mulia.
>
> Kedua, agama sering dipahami sebagai serangkaian peraturan dan larangan. Dengan demikian makna agama telah tereduksi sedemikian rupa menjadi kewajiban dan bukan kebutuhan. Agama diajarkan dengan pendekatan hukum (outside-in) , bukannya dengan pendekatan kebutuhan dan komitmen (inside-out) . Ini menjauhkan agama dari makna sebenarnya yaitu sebagai sebuah sebuah cara hidup (way of life), apalagi cara berpikir (way of thinking).
>
> Agama seharusnya dipahami sebagai sebuah kebutuhan tertinggi manusia.Kita tidak beribadah karena surga dan neraka tetapi karena kita lapar secara rohani. Kita beribadah karena kita menginginkan kesejukan dan kenikmatan batin yang tiada taranya. Kita beribadah karena rindu untuk menyelami jiwa sejati kita dan merasakan kehadiran Tuhan dalam keseharian kita. Kita berbuat baik bukan karena takut tapi karena kita tak ingin melukai diri kita sendiri dengan perbuatan.
>
> Setelah berjalan selama 20 tahun, si nenek ingin melihat kemajuan yang telah dicapai lelaki itu. Ia memutuskan untuk mengujinya dengan seorang wanita cantik. ''Masuklah ke dalam pondok,'' katanya kepada wanita itu,''Peluklah ia dan katakan 'Apa yang akan kita lakukan sekarang'?''
>
> Maka wanita itu pun masuk ke dalam pondok dan melakukan apa yang disarankan oleh si nenek. Lelaki itu menjadi sangat marah karena tindakan yang tak sopan itu. Ia mengambil sapu dan mengusir wanita itu keluar dari pondoknya.
>
> Ketika wanita itu kembali dan melaporkan apa yang terjadi, si nenek menjadi marah. ''Percuma saya memberi makan orang itu selama 20 tahun,''serunya.
>
> ''Ia tidak menunjukkan bahwa ia memahami kebutuhanmu, tidak bersedia untuk membantumu ke luar dari kesalahanmu. Ia tidak perlu menyerah pada nafsu, namun sekurang-kurangnya setelah sekian lama beribadah seharusnya ia memiliki rasa kasih pada sesama.''
>
> Apa yang menarik dari cerita diatas? Ternyata ada kesenjangan yang cukup besar antara taat beribadah dengan memiliki budi pekerti yang luhur. Taat beragama ternyata sama sekali tak menjamin perilaku seseorang.
>
> Ada banyak contoh yang dapat kita kemukakan disini. Anda pasti sudah sering mendengar cerita mengenai guru mengaji yangsuka memperkosa muridnya. Seorang kawan yang rajin shalat lima waktu baru-baru ini di PHK dari kantornya karena memalsukan dokumen. Seorang kawan yang berjilbab rapih ternyata suka berselingkuh. Kawan yang lain sangat rajin ikut pengajian tapi tak henti-hentinya menyakiti orang lain. Adapula kawan yang Berkali-kali menunaikan haji dan umrah tetapi terus melakukan korupsi di kantornya.
>
> Lantas dimana letak kesalahannya? Saya kira persoalan utamanya adalah pada kesalahan cara berpikir. Banyak orang yang memahami agama dalam pengertian ritual dan fiqih belaka. Dalam konsep mereka, beragama berarti melakukan shalat, puasa, zakat, haji dan melagukan (bukannya membaca) Alquran.
>
> Padahal esensi beragama bukan disitu. Esensi beragama justru pada budi pekerti yang mulia.
>
> Kedua, agama sering dipahami sebagai serangkaian peraturan dan larangan. Dengan demikian makna agama telah tereduksi sedemikian rupa menjadi kewajiban dan bukan kebutuhan. Agama diajarkan dengan pendekatan hukum (outside-in) , bukannya dengan pendekatan kebutuhan dan komitmen (inside-out) . Ini menjauhkan agama dari makna sebenarnya yaitu sebagai sebuah sebuah cara hidup (way of life), apalagi cara berpikir (way of thinking).
>
> Agama seharusnya dipahami sebagai sebuah kebutuhan tertinggi manusia.Kita tidak beribadah karena surga dan neraka tetapi karena kita lapar secara rohani. Kita beribadah karena kita menginginkan kesejukan dan kenikmatan batin yang tiada taranya. Kita beribadah karena rindu untuk menyelami jiwa sejati kita dan merasakan kehadiran Tuhan dalam keseharian kita. Kita berbuat baik bukan karena takut tapi karena kita tak ingin melukai diri kita sendiri dengan perbuatan.
Semangkok Bakmi
Posted by
djaheel

Pada malam itu, Anna bertengkar dengan ibunya. Karena sangat marah, Anna segera meninggalkan rumah tanpa membawa apapun. Saat berjalan di suatu jalan, ia baru menyadari bahwa ia sama sekali tdk membawa uang, sementara perutnya sudah keroncongan.
Saat menyusuri sebuah jalan, gadis muda itu melewati sebuah kedai bakmi dan ia mencium harumnya aroma masakan. Ia ingin sekali memesan semangkuk bakmi, tetapi ia tidak mempunyai uang.
Pemilik kedai melihat Anna berdiri cukup lama di depan kedainya, lalu berkata "Nona, apakah engkau ingin memesan semangkuk bakmi?" "Ya, tetapi, aku tidak membawa uang" jawab Ana dengan malu-malu
"Tidak apa-apa, aku akan mentraktirmu" jawab si pemilik kedai. "Silahkan duduk, aku akan memasakkan bakmi untukmu".
Tidak lama kemudian, pemilik kedai itu mengantarkan semangkuk bakmi. Anna segera makan beberapa suap, kemudian air matanya mulai berlinang. "Ada apa nona?" Tanya si pemilik kedai. "Tidak apa-apa, aku hanya terharu," jawab Ana sambil mengeringkan air matanya.
"Bahkan, seorang yang baru kukenal pun memberi aku semangkuk bakmi, tetapi,. ibuku sendiri, setelah bertengkar denganku, mengusirku dari rumah dan mengatakan kepadaku agar jangan kembali lagi ke rumah. Kau, seorang yang baru kukenal, tetapi begitu peduli denganku dibandingkan dengan ibu kandungku sendiri" katanya kepada pemilik kedai
Pemilik kedai itu setelah mendengar perkataan Anna, menarik nafas panjang dan berkata "Nona mengapa kau berpikir seperti itu? Renungkanlah hal ini, aku hanya memberimu semangkuk bakmi dan kau begitu terharu. Ibumu telah memasak bakmi dan nasi utukmu saat kau kecil sampai saat ini, mengapa kau tidak berterima kasih kepadanya? Dan kau malah bertengkar dengannya"
Anna, terhenyak mendengar nasehatnya. "Mengapa aku tidak berpikir tentang hal itu? Untuk semangkuk bakmi dari orang yang baru kukenal, aku begitu berterima kasih, tetapi kepada ibuku yang memasak untukku selama bertahun-tahun, aku bahkan tidak memperlihatkan kepedulianku kepadanya. Dan hanya karena persoalan sepele, aku bertengkar dengannya."
Anna, segera menghabiskan bakminya, lalu ia menguatkan dirinya untuk segera pulang ke rumahnya. Saat berjalan ke rumah, ia memikirkan kata-kata yang harus diucapkan kepada ibunya. Begitu sampai di ambang pintu rumah, ia melihat ibunya dengan wajah letih dan cemas.
Ketika bertemu dengan Anna, kalimat pertama yang keluar dari mulut ibunya adalah "Anna kau sudah pulang, cepat masuklah, aku telah menyiapkan makan malam dan makanlah dahulu sebelum kau tidur, makanan akan menjadi dingin jika kau tidak memakannya sekarang"
Pada saat itu Anna tidak dapat menahan air matanya dan ia menangis di hadapan ibunya. Sekali waktu, kita mungkin akan sangat berterima kasih kepada orang lain di sekitar kita untuk suatu pertolongan kecil yang diberikan kepada kita. Tetapi kepada orang yang sangat dekat dengan kita (keluarga) khususnya orang tua kita, kita harus ingat bahwa kita berterima kasih kepada mereka seumur hidup kita (Sumber NN).
To my married and unmarried friends
Posted by
djaheel
/
Comments: (0)
When You Divorce Me, Carry Me Out in Your Arms
On my wedding day, I carried my wife in my arms.
The bridal car stopped in front of our one-room flat. My buddies insisted that I carry her out of the car in my arms. So I carried her into our home. She was then plump and shy.
I was a strong and happy bridegroom.
This was the scene ten years ago.
The following days were as simple as a cup of pure water: we had a kid; I went into business and tried to make more money.
When the assets were steadily increasing, the affection between us seemed to ebb. She was a civil servant. Every morning we left home together and got home almost at the same time. Our kid was studying in a boarding school.
Our marriage life seemed to be enviably happy. But the calm life was more likely to be affected by unpredictable changes.
Dew came into my life.
It was a sunny day. I stood on a spacious balcony. Dew hugged me from behind. My heart once again was immersed in her stream of love. This was theapartment I bought for her.
Dew said, you are the kind of man who best draws girls' eyeballs. Her words suddenly reminded me of my wife. When we were just married, my wife said,
Men like you, once successful, will be very attractive to girls.
Thinking of this, I became somewhat hesitant. I knew I had betrayed my wife.
But I couldn't help doing so.
I moved Dew's hands aside and said you go to select some furniture, O.K.?
I've got something to do in the company. Obviously she was unhappy, because I had promised to do it together with her. At the moment, the idea of divorce became clearer in my mind although it used to be something impossible to me.
However, I found it rather difficult to tell my wife about it. No matter how mildly I mentioned it to her, she would be deeply hurt.
Honestly, she was a good wife. Every evening she was busy preparing dinner.
I was sitting in front of the TV. The dinner was ready soon. Then we watched TV together. Or, I was lounging before the computer, visualizing Dew's body. This was the means of my entertainment.
One day I said to her in a slightly joking way, suppose we divorce, what will you do? She stared at me for a few seconds without a word. Apparently she believed that divorce was something too far away from her. I couldn't imagine how she would react once she got to know I was serious.
When my wife went to my office, Dew had just stepped out. Almost all the staff looked at my wife with a sympathetic eye and tried to hide something while talking to her. She seemed to have got some hint. She gently smiled at my subordinates. But I read some hurt in her eyes.
Once again, Dew said to me, He Ning, divorce her, O.K.? Then we live together. I nodded. I knew I could not hesitate any more.
When my wife served the last dish, I held her hand. I've got something to tell you, I said. She sat down and ate quietly. Again I observed the hurt in her eyes. Suddenly I didn't know how to open my mouth. But I had to let her know what I was thinking. I want a divorce. I raised the serious topic calmly.
She didn't seem to be annoyed by my words, instead she asked me softly, why?
I'm serious. I avoided her question. This so-called answer made her angry.
She threw away the chopsticks and shouted at me, you are not a man!
That night, we didn't talk to each other. She was weeping. I knew she wanted to find out what had happened to our marriage. But I could hardly give her a satisfactory answer, because my heart had gone to Dew.
With a deep sense of guilt, I drafted a divorce agreement which stated that she could own our house, our car, and 30% stake of my company. She glancedat it and then tore it into pieces. I felt a pain inmy heart. The woman who had been living ten years with me would become a stranger one day. But I could not take back what I had said.
Finally she cried loudly in front of me, which was what I had expected to see. To me her cry was actually a kind of release. The idea of divorce which had obsessed me for several weeks seemed to be firmer and clearer.
Late that night, I came back home after entertaining my clients. I saw her writing something at the table. I fall asleep fast. When I woke up, I found she was still there. I turned over and was asleep again.
She brought up her divorce conditions: she didn't want anything from me, but I was supposed to give her one month s time before divorce, and in the month's time we must live as normal a life as possible. Her reason was simple: our son would finish his summer vacation a month later and she didn't want him to see our marriage was broken.
She passed me the agreement she drafted, and then asked me, He Ning, do you still remember how I entered our bridal room on the wedding day? This question suddenly brought back all those wonderful memories to me. I nodded and said, I remember. You carried me in your arms, she continued, so, I have a requirement, that is, you carry me out in your arms on the day when we divorce. From now to the end of this month, you must carry me out from the bedroom to the door every morning.
I accepted with a smile. I knew she missed those sweet days and wished to end her marriage romantically.
I told Dew about my wife s divorce conditions. She laughed loudly and thought it was absurd. No matter what tricks she does, she has to face the result of divorce, she said scornfully. Her words more or less made me feel uncomfortable.
My wife and I hadn't had any body contact since my divorce intention was explicitly expressed. We even treated each other as a stranger. So when I carried her out on the first day, we both appeared clumsy. Our son clapped behind us, daddy is holding mummy in his arms. His words brought me a sense of pain. From the bedroom to the sitting room, then to the door, I walked over ten meters with her in my arms. She closed her eyes and said softly, Let us start from today, don't tell our son. I nodded, feeling somewhat upset. I put her down outside the door. She went to wait for a bus, I drove to the office.
On the second day, both of us acted much more easily. She leaned on my chest. We were so close that I could smell the fragrance of her blouse. I realized that I hadn't looked at this intimate woman carefully for a long time. I found she was not young any more. There were some fine wrinkles on her face.
On the third day, she whispered to me, the outside garden is being demolished. Be careful when you pass there
On the fourth day, when I lifted her up, I seemed to feel that we were still an intimate couple and I was holding my sweetheart in my arms. The visualization of Dew became vague.
On the fifth and sixth day, she kept reminding me something, such as, where she put the ironed shirts, I should be careful while cooking, etc. I nodded. The sense of intimacy was even stronger. I didn't tell Dew about this.
I felt it was easier to carry her. Perhaps the everyday workout made me stronger. I said to her, It seems not difficult to carry you now. She was picking her dresses. I was waiting to carry her out. She tried quite a few but could not find a suitable one. Then she sighed, all my dresses have grown bigger. I smiled. But I suddenly realized that it was because she was thinner that I could carry her more easily, not because I was stronger. I knew she had buried all the bitterness in her heart. Again, I felt a sense of pain. Subconsciously I reached out a hand to touch her head.
Our son came in at the moment. Dad, it's time to carry mum out. He said. To him, seeing his father carrying his mother out had been an essential part of his life. She gestured our son to come closer and hugged him tightly. I turned my face because I was afraid I would change my mind at the last minute. I held her in my arms, walking from the bedroom, through the sitting room, to the hallway. Her hand surrounded my neck softly and naturally. I held her body tightly, as if we came back to our wedding day. But her much lighter weight made me sad.
On the last day, when I held her in my arms I could hardly move a step. Ourson had gone to school. She said, actually I hope you will hold me in your arms until we are old.
I held her tightly and said, both you and I didn't notice that our life lacked intimacy.
I jumped out of the car swiftly without locking the door. I was afraid any delay would make me change my decision. I walkedupstairs. Dew opened the door. I said to her, Sorry, Dew, I won't divorce. I'm serious.
She looked at me, astonished. The she touched my forehead. You got no fever. She said. I moved her hand off my head. Sorry, Dew, I said, I can only say sorry to you, I won't divorce. My marriage life was boring probably because she and I didn't value the details of life, not because we didn't love each other any more. Now I understand that since I carried her into the home, she gave birth to our child, I am supposed to hold her until I am old. So I have to say sorry to you.
Dew seemed to suddenly wake up. She gave me a loud slap and then slammed the door and burst into tears. I walked downstairs and drove to the office.
When I passed the floral shop on the way, I ordered a bouquet for my wife which was her favorite. The salesgirl asked me what to write on the card. I smiled and wrote, I'll carry you out every morning until we are old.
On my wedding day, I carried my wife in my arms.
The bridal car stopped in front of our one-room flat. My buddies insisted that I carry her out of the car in my arms. So I carried her into our home. She was then plump and shy.
I was a strong and happy bridegroom.
This was the scene ten years ago.
The following days were as simple as a cup of pure water: we had a kid; I went into business and tried to make more money.
When the assets were steadily increasing, the affection between us seemed to ebb. She was a civil servant. Every morning we left home together and got home almost at the same time. Our kid was studying in a boarding school.
Our marriage life seemed to be enviably happy. But the calm life was more likely to be affected by unpredictable changes.
Dew came into my life.
It was a sunny day. I stood on a spacious balcony. Dew hugged me from behind. My heart once again was immersed in her stream of love. This was theapartment I bought for her.
Dew said, you are the kind of man who best draws girls' eyeballs. Her words suddenly reminded me of my wife. When we were just married, my wife said,
Men like you, once successful, will be very attractive to girls.
Thinking of this, I became somewhat hesitant. I knew I had betrayed my wife.
But I couldn't help doing so.
I moved Dew's hands aside and said you go to select some furniture, O.K.?
I've got something to do in the company. Obviously she was unhappy, because I had promised to do it together with her. At the moment, the idea of divorce became clearer in my mind although it used to be something impossible to me.
However, I found it rather difficult to tell my wife about it. No matter how mildly I mentioned it to her, she would be deeply hurt.
Honestly, she was a good wife. Every evening she was busy preparing dinner.
I was sitting in front of the TV. The dinner was ready soon. Then we watched TV together. Or, I was lounging before the computer, visualizing Dew's body. This was the means of my entertainment.
One day I said to her in a slightly joking way, suppose we divorce, what will you do? She stared at me for a few seconds without a word. Apparently she believed that divorce was something too far away from her. I couldn't imagine how she would react once she got to know I was serious.
When my wife went to my office, Dew had just stepped out. Almost all the staff looked at my wife with a sympathetic eye and tried to hide something while talking to her. She seemed to have got some hint. She gently smiled at my subordinates. But I read some hurt in her eyes.
Once again, Dew said to me, He Ning, divorce her, O.K.? Then we live together. I nodded. I knew I could not hesitate any more.
When my wife served the last dish, I held her hand. I've got something to tell you, I said. She sat down and ate quietly. Again I observed the hurt in her eyes. Suddenly I didn't know how to open my mouth. But I had to let her know what I was thinking. I want a divorce. I raised the serious topic calmly.
She didn't seem to be annoyed by my words, instead she asked me softly, why?
I'm serious. I avoided her question. This so-called answer made her angry.
She threw away the chopsticks and shouted at me, you are not a man!
That night, we didn't talk to each other. She was weeping. I knew she wanted to find out what had happened to our marriage. But I could hardly give her a satisfactory answer, because my heart had gone to Dew.
With a deep sense of guilt, I drafted a divorce agreement which stated that she could own our house, our car, and 30% stake of my company. She glancedat it and then tore it into pieces. I felt a pain inmy heart. The woman who had been living ten years with me would become a stranger one day. But I could not take back what I had said.
Finally she cried loudly in front of me, which was what I had expected to see. To me her cry was actually a kind of release. The idea of divorce which had obsessed me for several weeks seemed to be firmer and clearer.
Late that night, I came back home after entertaining my clients. I saw her writing something at the table. I fall asleep fast. When I woke up, I found she was still there. I turned over and was asleep again.
She brought up her divorce conditions: she didn't want anything from me, but I was supposed to give her one month s time before divorce, and in the month's time we must live as normal a life as possible. Her reason was simple: our son would finish his summer vacation a month later and she didn't want him to see our marriage was broken.
She passed me the agreement she drafted, and then asked me, He Ning, do you still remember how I entered our bridal room on the wedding day? This question suddenly brought back all those wonderful memories to me. I nodded and said, I remember. You carried me in your arms, she continued, so, I have a requirement, that is, you carry me out in your arms on the day when we divorce. From now to the end of this month, you must carry me out from the bedroom to the door every morning.
I accepted with a smile. I knew she missed those sweet days and wished to end her marriage romantically.
I told Dew about my wife s divorce conditions. She laughed loudly and thought it was absurd. No matter what tricks she does, she has to face the result of divorce, she said scornfully. Her words more or less made me feel uncomfortable.
My wife and I hadn't had any body contact since my divorce intention was explicitly expressed. We even treated each other as a stranger. So when I carried her out on the first day, we both appeared clumsy. Our son clapped behind us, daddy is holding mummy in his arms. His words brought me a sense of pain. From the bedroom to the sitting room, then to the door, I walked over ten meters with her in my arms. She closed her eyes and said softly, Let us start from today, don't tell our son. I nodded, feeling somewhat upset. I put her down outside the door. She went to wait for a bus, I drove to the office.
On the second day, both of us acted much more easily. She leaned on my chest. We were so close that I could smell the fragrance of her blouse. I realized that I hadn't looked at this intimate woman carefully for a long time. I found she was not young any more. There were some fine wrinkles on her face.
On the third day, she whispered to me, the outside garden is being demolished. Be careful when you pass there
On the fourth day, when I lifted her up, I seemed to feel that we were still an intimate couple and I was holding my sweetheart in my arms. The visualization of Dew became vague.
On the fifth and sixth day, she kept reminding me something, such as, where she put the ironed shirts, I should be careful while cooking, etc. I nodded. The sense of intimacy was even stronger. I didn't tell Dew about this.
I felt it was easier to carry her. Perhaps the everyday workout made me stronger. I said to her, It seems not difficult to carry you now. She was picking her dresses. I was waiting to carry her out. She tried quite a few but could not find a suitable one. Then she sighed, all my dresses have grown bigger. I smiled. But I suddenly realized that it was because she was thinner that I could carry her more easily, not because I was stronger. I knew she had buried all the bitterness in her heart. Again, I felt a sense of pain. Subconsciously I reached out a hand to touch her head.
Our son came in at the moment. Dad, it's time to carry mum out. He said. To him, seeing his father carrying his mother out had been an essential part of his life. She gestured our son to come closer and hugged him tightly. I turned my face because I was afraid I would change my mind at the last minute. I held her in my arms, walking from the bedroom, through the sitting room, to the hallway. Her hand surrounded my neck softly and naturally. I held her body tightly, as if we came back to our wedding day. But her much lighter weight made me sad.
On the last day, when I held her in my arms I could hardly move a step. Ourson had gone to school. She said, actually I hope you will hold me in your arms until we are old.
I held her tightly and said, both you and I didn't notice that our life lacked intimacy.
I jumped out of the car swiftly without locking the door. I was afraid any delay would make me change my decision. I walkedupstairs. Dew opened the door. I said to her, Sorry, Dew, I won't divorce. I'm serious.
She looked at me, astonished. The she touched my forehead. You got no fever. She said. I moved her hand off my head. Sorry, Dew, I said, I can only say sorry to you, I won't divorce. My marriage life was boring probably because she and I didn't value the details of life, not because we didn't love each other any more. Now I understand that since I carried her into the home, she gave birth to our child, I am supposed to hold her until I am old. So I have to say sorry to you.
Dew seemed to suddenly wake up. She gave me a loud slap and then slammed the door and burst into tears. I walked downstairs and drove to the office.
When I passed the floral shop on the way, I ordered a bouquet for my wife which was her favorite. The salesgirl asked me what to write on the card. I smiled and wrote, I'll carry you out every morning until we are old.
Temukan Cinta Anda...
Posted by
djaheel
/
Comments: (0)
Bila anda tak mencintai pekerjaan Anda, maka cintailah orang-orang yang bekerja disana.
Rasakan kegembiraan dari pertemanan itu. Dan pekerjaan pun menjadi menggembirakan.
Bila anda tak bisa mencintai rekan-rekan kerja Anda, maka cintailah suasana dan gedung kantor Anda.
Ini mendorong Anda untuk bergairah berangkat kerja dan melakukan tugas-tugas dengan lebih baik lagi.
Bila toh Anda juga tidak bisa melakukannya, cintai setiap pengalaman pulang pergi dari dan ketempat kerja Anda.
Perjalanan yang menyenangkan menjadikan tujuan tampak menyenangkan juga.
Namun, bila anda tak menemukan kesenangan di sana, maka cintai a apa pun yang bisa Anda cintai dari kerja Anda, tanaman penghias meja, cicak di atas dinding, atau gumpalan awan dari balik jendela.
Apa saja.
Bila Anda tak menemukan yang bisa Anda cintai dari pekerjaan Anda, maka mengapa Anda ada di situ ?
Tak ada alasan bagi Anda untuk tetap bertahan. Cepat pergi dan carilah apa yang Anda cintai, lalu bekerjalah disana.
Hidup hanya sekali, Tak ada yang lebih indah selain melakukan dengan rasa cinta yang tulus.
Rasakan kegembiraan dari pertemanan itu. Dan pekerjaan pun menjadi menggembirakan.
Bila anda tak bisa mencintai rekan-rekan kerja Anda, maka cintailah suasana dan gedung kantor Anda.
Ini mendorong Anda untuk bergairah berangkat kerja dan melakukan tugas-tugas dengan lebih baik lagi.
Bila toh Anda juga tidak bisa melakukannya, cintai setiap pengalaman pulang pergi dari dan ketempat kerja Anda.
Perjalanan yang menyenangkan menjadikan tujuan tampak menyenangkan juga.
Namun, bila anda tak menemukan kesenangan di sana, maka cintai a apa pun yang bisa Anda cintai dari kerja Anda, tanaman penghias meja, cicak di atas dinding, atau gumpalan awan dari balik jendela.
Apa saja.
Bila Anda tak menemukan yang bisa Anda cintai dari pekerjaan Anda, maka mengapa Anda ada di situ ?
Tak ada alasan bagi Anda untuk tetap bertahan. Cepat pergi dan carilah apa yang Anda cintai, lalu bekerjalah disana.
Hidup hanya sekali, Tak ada yang lebih indah selain melakukan dengan rasa cinta yang tulus.
Stone Soup
Posted by
djaheel
/
Comments: (0)
Three soldiers trudged down a road in a strange country. they were on
their way home from the wars. Besides being tired, they were hungry.
In fact, they had eaten nothing for two days.
"How I would like a good dinner tonight," said the first. "And a bed
to sleep in," added the second. "But that is impossible," said the
third.
On they marched, until suddenly, ahead of them, they saw the lights
of a village. "Maybe we'll find a bite to eat and a bed to sleep in,"
they thought.
Now the peasants of the place feared strangers. When they heard that
three soldiers were coming down the road, they talked among
themselves. "Here come three soldiers," they said. "Soldiers are
always hungry. But we have so little for ourselves." And they hurried
to hide their food. They hid the barley in hay lofts, carrots under
quilts, and buckets of milk down the wells. They hid all they had to
eat. Then they waited.
The soldiers stopped at the first house. "Good evening to you," they
said. "Could you spare a bit of food for three hungry soldiers?" "We
have no food for ourselves," the residents lied. "It has been a poor
harvest."
The soldiers went to the next house. "Could you spare a bit of food?"
they asked. "And do you have a corner where we could sleep for the
night?" "Oh, no," the man said. "We gave all we could spare to the
soldiers who came before you." "And our beds are full," lied the
woman.
At each house, the response was the same -- no one had food or a
place for the soldiers to stay. The peasants had very good reasons,
like feeding the sick and children. The villagers stood in the street
and sighed. They looked as hungry as they could.
The soldiers talked together. The first soldier called out, "Good
people! We are three hungry soldiers in a strange land. We have asked
you for food and you have no food. Well, we will have to make stone
soup." The peasants stared.
The soldiers asked for a big iron pot, water to fill it, and a fire
to heat it. "And now, if you please, three round smooth stones." The
soldiers dropped the stones into the pot.
"Any soup needs salt and pepper," the first solders said, so children
ran to fetch salt and pepper.
"Stones make good soup, but carrots would make it so much better,"
the second soldier added. One woman said, "Why, I think I have a
carrot or two!" She ran to get the carrots.
"A good stone soup should have some cabbage, but no use asking for
what we don't have!" said the third soldier. Another woman said, "I
think I can probably find some cabbage," and off she scurried.
"If only we had a bit of beef and some potatoes, this soup would be
fit for a rich man's table." The peasants thought it over, then ran
to fetch what they had hidden in their cellars. A rich man's soup,
and all from a few stones! It seemed like magic!
The soldiers said, "If only we had a bit of barley and some milk,
this soup would be fit for a king!" And so the peasants managed to
retrieve some barley and milk.
"The soup is ready," said the cooks, "and all will taste it, but
first we need to set the tables." Tables and torches were set up in
the square, and all sat down to eat. Some of the peasants said, "Such
a great soup would be better with bread and cider," so they brought
forth the last two items and the banquet was enjoyed by all. Never
had there been such a feast. Never had the peasants tasted such
delicious soup, and all made from stones! They ate and drank and
danced well into the night.
The soldiers asked again if there was a loft where they might sleep
for the night. "Oh, no!" said the townfolk. "You wise men must have
the best beds in the village!" So the soldiers spent the night in the
mayor's house.
In the morning, the villagers gathered to say goodbye. "Many thanks
to you," the people said, "for we shall never go hungry now that you
have taught us how to make soup from stones!"
their way home from the wars. Besides being tired, they were hungry.
In fact, they had eaten nothing for two days.
"How I would like a good dinner tonight," said the first. "And a bed
to sleep in," added the second. "But that is impossible," said the
third.
On they marched, until suddenly, ahead of them, they saw the lights
of a village. "Maybe we'll find a bite to eat and a bed to sleep in,"
they thought.
Now the peasants of the place feared strangers. When they heard that
three soldiers were coming down the road, they talked among
themselves. "Here come three soldiers," they said. "Soldiers are
always hungry. But we have so little for ourselves." And they hurried
to hide their food. They hid the barley in hay lofts, carrots under
quilts, and buckets of milk down the wells. They hid all they had to
eat. Then they waited.
The soldiers stopped at the first house. "Good evening to you," they
said. "Could you spare a bit of food for three hungry soldiers?" "We
have no food for ourselves," the residents lied. "It has been a poor
harvest."
The soldiers went to the next house. "Could you spare a bit of food?"
they asked. "And do you have a corner where we could sleep for the
night?" "Oh, no," the man said. "We gave all we could spare to the
soldiers who came before you." "And our beds are full," lied the
woman.
At each house, the response was the same -- no one had food or a
place for the soldiers to stay. The peasants had very good reasons,
like feeding the sick and children. The villagers stood in the street
and sighed. They looked as hungry as they could.
The soldiers talked together. The first soldier called out, "Good
people! We are three hungry soldiers in a strange land. We have asked
you for food and you have no food. Well, we will have to make stone
soup." The peasants stared.
The soldiers asked for a big iron pot, water to fill it, and a fire
to heat it. "And now, if you please, three round smooth stones." The
soldiers dropped the stones into the pot.
"Any soup needs salt and pepper," the first solders said, so children
ran to fetch salt and pepper.
"Stones make good soup, but carrots would make it so much better,"
the second soldier added. One woman said, "Why, I think I have a
carrot or two!" She ran to get the carrots.
"A good stone soup should have some cabbage, but no use asking for
what we don't have!" said the third soldier. Another woman said, "I
think I can probably find some cabbage," and off she scurried.
"If only we had a bit of beef and some potatoes, this soup would be
fit for a rich man's table." The peasants thought it over, then ran
to fetch what they had hidden in their cellars. A rich man's soup,
and all from a few stones! It seemed like magic!
The soldiers said, "If only we had a bit of barley and some milk,
this soup would be fit for a king!" And so the peasants managed to
retrieve some barley and milk.
"The soup is ready," said the cooks, "and all will taste it, but
first we need to set the tables." Tables and torches were set up in
the square, and all sat down to eat. Some of the peasants said, "Such
a great soup would be better with bread and cider," so they brought
forth the last two items and the banquet was enjoyed by all. Never
had there been such a feast. Never had the peasants tasted such
delicious soup, and all made from stones! They ate and drank and
danced well into the night.
The soldiers asked again if there was a loft where they might sleep
for the night. "Oh, no!" said the townfolk. "You wise men must have
the best beds in the village!" So the soldiers spent the night in the
mayor's house.
In the morning, the villagers gathered to say goodbye. "Many thanks
to you," the people said, "for we shall never go hungry now that you
have taught us how to make soup from stones!"