Kamis, 14 Rajab 1437 H / 21 April 2016 06:30 WIB
source :Eramuslim.com – http://m.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/perayaan-hari-kartini-adalah-pembohongan-sejarah-kepada-generasi-muda.htm
Setiap tanggal 21 April, kita ‘merayakan’ hari Kartini. Hari lahir perempuan pahlawan Raden Ajeng Kartini ini diperingati sebagai tonggak kebangkitan perempuan Indonesia pada kesadaran akan kesamaan Hak dan kesetaraan jender dengan kaum laki-laki. Hari Kartini diperingati sebagai hari emansipasi wanita, minimal secara lokal di Indonesia.
Hari Kartini ditetapkan pada tanggal 2 Mei 1964 via Keppres RI No 108/1964 yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno.
Sekarang, di sekolah-sekolah dan di instansi pemerintahan, hari Kartini dirayakan dengan ramai-ramai berpakaian adat nasional. Entah apa hubungannya emansipasi wanita dengan pakaian daerah. Apa karena Kartini sering terlihat berkebaya lantas rasanya terlalu memaksakan jika dirayakan dengan berkebaya semua, sementara anda tahu sendiri kebaya cuma ada di Jawa doang? Nah agar menasional dan tidak terkesan Kartini hanya untuk emansipasi wanita Jawa, maka dirayakan juga dengan pakaian daerah non-kebaya? Hmm… bangsa kita memang lebih menikmati kemasan daripada esensinya. Bahkan pada kemasan tanpa esensi sekalipun.
Kemudian, sederhana aja: kenapa Kartini? Apa pahlawan emansipasi disini cuma Kartini? Atau Kartini dianggap paling besar pengorbanannya dibanding wanita pahlawan lain?
Tidak seperti dengan Cut Nya’ Dhien, Christina Martha Tiahahu, Kartini tidak berhadapan langsung dengan penjajah, bahkan Kartini hidup dalam kemewahan lingkungan pemerintahan penjajah Belanda dan bangsawan Jawa pada waktu itu. Kartini tidak mengorbankan nyawa seperti Cut Nya’ Dhien atau Martha Tiahahu menghadapi penjajah.
Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar, di artikel “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita” dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), mengatakan bahwa kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.
Ide emansipasi Kartini hanyalah hasutan teman-teman diskusinya. Di antaranya adalah Rosa Abendanon, istri JH Abendanon, menteri kebudayaan, agama, dan kerajinan pada masa kolonial. Naskah-naskah asli surat-surat Kartini tidak jelas statusnya dan tak jelas keberadaannya. Buku Kartini terbit pada saat pemerintah kolonial sedang mengkampanyekan politik etis di Hindia Belanda.
Dari sisi kaum feminisme, aliran yang 11-12 dengan ide emansipasi wanita seperti yang diperjuangkan Kartini, fakta hidup Kartini tidak sesuai dengan apa yang ditulis dalam surat-suratnya. Kartini sendiri menjadi istri keempat bupati Rembang.
Kalau menurut anda pahlawan wanita yang memperjuangkan peningkatan derajat kaum wanita hanya Kartini, maka anda salah.
Dewi Sartika, wanita kelahiran Bandung, 4 Desember 1884, adalah tokoh perintis pendikan untuk perempuan yang terlupakan oleh generasi bangsa ini. Dewi Sartika diakui sebagai pahlawan nasional 2 tahun sejak Kartini diakui, yakni pada 1966.
Berbeda dengan Kartini yang mendirikan sekolah hanya untuk kaum priyayi dan bangsawan, Dewi Sartika sejak berumur 10 tahun sudah menyebarkan ilmu baca-tulis dan bahasa Belanda kepada perempuan-perempuan dari rakyat jelata, kebanyakan dari anak-anak pembantu di kepatihan. Tak heran perbuatan Dewi Sartika membuat kehebohan karena pada masa itu tidak mungkin anak rakyat jelata bisa baca-tulis, apalagi belajar bahasa Belanda!
Sekolah Kartini adalah sekolah khusus priyayi atau Bangsawan. Adalah hal lazim bagi keluarga bangsawan bisa baca-tulis mengingat mereka memang diizinkan bersekolah di sekolah-sekolah Belanda, meski tidak sampai jenjang tinggi.
Sekolah Kartini berasal dari fasilitas atau kekayaan suami dan keluarganya yang kebetulan memang pembesar di Jepara waktu itu.
Dewi Sartika mendirikan Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda dengan harta dan tabungan pribadinya sendiri ketika ia membeli sebidang tanah dan mendirikan sekolah di sana. Memang, tidak murni seluruhnya harta pribadi, karena bupati Bandung pun ikut menyumbang, tapi dalam perkembangannya, biaya renovasi dan perawatan sekolah menggunakan harta pribadi Dewi Sartika sendiri hingga berganti nama menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan).
Bertahun-tahun setelah itu Sakola Istri menginspirasi perempuan-perempuan Sunda untuk mendirikan sekolah-sekolah serupa. Sehingga pada tahun 1920 tiap kabupaten di Pasundan memiliki sekolah perempuan, bahkan Sakola Kautamaan Perempuan menyebar hingga Bukittinggi yang didirikan oleh Encik Rama Saleh.
See, tidak hanya di daerah Jepara dan Rembang.
Namun rekayasa kolonial mengerdilkan nama Dewi Sartika dan jasa-jasanya kepada perempuan, rakyat biasa, bangsa ini. Pemerintah kolonial lebih suka “menerbitkan” Kartini ketimbang Dewi Sartika. Ini tidak aneh, mengingat Ayah Dewi Sartika, Raden Rangga Somanegara, adalah seorang anti pemerintah kolonial Belanda. Rangga Somadinata sendiri dibuang pemerintah kolonial ke Ternate hingga meninggal disana.
Jelas terlihat, jika Kartini berasal dari keluarga bangsawan yang berkolaborasi dengan penjajah, Dewi Sartika memang lahir dari keluarga pejuang dan berjuang untuk melawan penjajahan melalui pencerdasan kaum perempuan. Jika Kartini hanya beretorika emansipasi perempuan melalui surat-suratnya, Dewi Sartika tidak. Dewi Sartika konsisten menolak dijadikan istri muda atau selir dan praktik langsung menjadi guru di sekolah-sekolahnya.
Kartini terkenal melalui tulisan-tulisannya. Tulisan Kartini menyebar hingga ke Eropa karena mediasi tokoh-tokoh emansipasi Belanda. Inilah perbedaannya dengan Dewi Sartika. Tulisan Kartini bisa dibaca generasi setelahnya. Hasil kerja langsung Dewi Sartika juga bisa dinikmati generasi berikutnya. Tapi ide Dewi Sartika tidak tertulis sehingga tidak terdokumentasi oleh sejarah, terlebih perlakuan diskriminatif pemerintah kolonial waktu itu.
Berarti karena Dewi Sartika tidak menulis maka ia kalah populer dibanding Kartini? Tidak juga.
Roehanna Koeddoes (1884-1972) adalah wartawati pertama Indonesia. Tulisan-tulisannya menyemangati perempuan-perempuan bangsa untuk berfikir maju dan berkiprah sama dengan kaum laki-laki. Roehanna mendirikan sekolah untuk perempuan di Kotagadang yang memberikan pelajaran tulis-menulis, budi pekerti, dan keterampilan lain. Roehanna juga merintis surat kabar khusus untuk perempuan di tanah Melayu “Soenting Melajoe.” Dimana Roehana menjabat langsung sebagai pimpinan redaksinya.
Jasa Roehanna amatlah besar, tak kalah dengan jasa Kartini maupun Dewi Sartika. Tapi mengapa hanya Kartini yang terkenal?
Lagi-lagi terjadi diskriminasi dalam manuskrip sejarah Indonesia. Roehanna dan Dewi Sartika bukan berasal dari Jawa dan tidak berhubungan baik dengan pemerintah kolonial.
Maka perayaan Hari Kartini hanyalah pembohongan kepada generasi muda bangsa ini yang dibutakan wawasannya sehingga berfikir betapa luar biasanya jasa Kartini dibanding wanita pahlawan lain.
Prof Harsya menunjuk 2 nama pahlawan lagi sebagai pembanding. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nurudddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu tahun 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun wanita.
Yang kedua adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun wanita.
Anehnya dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Kartini sudah pasti masuk. Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa.
Kartini mungkin berjasa. Tapi jangan sampai pengkultusan padanya justru menghilangkan jasa wanita pahlawan lain yang menurut saya jauh lebih berjasa.
Tidak perlu ada Hari Kartini dengan parade kebaya-kebayaan!
(ts/sumber: illegalbloging.wordpress.com)
RA Kartini Dalam Pengaruh Pemikiran Yahudi, Theosofi dan Pluralisme
source : http://www.voa-islam.com/read/liberalism/2012/04/21/5268/ra-kartini-dalam-pengaruh-pemikiran-yahudi-theosofi-dan-pluralisme/#sthash.xJQI8RBD.dpbs
Kebanyakan orang yang menjadikan Kartini sebagai ikon perjuangan perempuan Indonesia, tak melihat sisi lain dari pemikirannya yang sangat berbau Theosofi dan kebatinan. Padahal, banyak tokoh wanita lain yang hidup semasa dengannya, yang berjuang secara nyata dalam dunia pendidikan, bukan dalam wacana surat menyurat seperti yang dilakukan Kartini.
TANGGAL 21 April dikenal sebagai Hari Kartini. Hampir semua perempuan di Indonesia, termasuk kaum muslimah, yang ikut-ikutan memperingati hari tersebut tanpa mengetahui latar belakang sejarahnya yang jelas. Siapa sesungguhnya Kartini? Siapa orang-orang yang mempengaruhinya? Bagaimana corak pemikirannya?
Peringatan Hari Kartini sering diikuti beragam acara yang mengedepankan emansipasi perempuan, kesetaraan gender, perjuangan feminisme, dan lain-lain. Kartini, dianggap sebagai ikon bagi perjuangan perempuan dalam persoalan tersebut. Kartini sering disebut sebagai ikon pendobrak bagi kemajuan perempuan Indonesia dan diakui secara resmi oleh pemerintah sebagai Pahlawan Nasional dengan Keputusan Presiden (Keppres) RI No. 108 tahun 1964.
Kartini lahir di desa Mayong, sebelah barat Kota Kudus, Kabupaten Jepara. Sebagai anak seorang bupati, Kartini hidup dalam keluarga yang berkecukupan. Saat kecil, Kartini dimasukkan ke sekolah elit orang-orang Eropa, Europese Lagere School (ELS) dari tahun 1885-1892. Di sekolah ini, Kartini banyak bergaul dengan anak-anak Eropa.
Sebagai keluarga priyayi Jawa, kultur mistis dan kebatinan begitu melekat di lingkungan tempat tinggalnya. Namun bagi Kartini, ikatan adat istiadat yang telah berurat akar dalam itu, dianggap mengekangnya sebagai perempuan. Setelah tamat dari sekolah ELS Kartini memasuki masa pingitan. Sementara itu, Kartini merasakan betul betapa haknya mendapatkan pendidikan secara utuh dibatasi. Di luar, ia melihat pendidikan Barat-Eropa begitu maju.
Kartini banyak bergaul dan melakukan korespondensi dengan orang-orang Belanda berdarah Yahudi, seperti J. H Abendanon dan istrinya Ny Abendanon Mandri, seorang humanis yang ditugaskan oleh Snouck Hurgronye untuk mendekati Kartini. Ny Abendanon Mandri adalah seorang wanita kelahiran Puerto Rico dan berdarah Yahudi.
…Kartini banyak bergaul dan melakukan korespondensi dengan orang-orang Belanda berdarah Yahudi yang ditugaskan oleh Snouck Hurgronye untuk mendekati Kartini…
Tokoh lain yang berhubungan dengan Kartini adalah, H. H Van Kol (Orang yang berwenang dalam urusan jajahan untuk Partai Sosial Demokrat di Belanda), Conrad Theodore van Daventer (Anggota Partai Radikal Demokrat Belanda), K. F Holle (Seorang Humanis), dan Christian Snouck Hurgronye (Orientalis yang juga menjabat sebagai Penasihat Pemerintahan Hindia Belanda), dan Estella H Zeehandelar, perempuan yang sering dipanggil Kartini dalam suratnya dengan nama Stella. Stella adalah wanita Yahudi pejuang feminisme radikal yang bermukim di Amsterdam. Selain sebagai pejuang feminisme, Estella juga aktif sebagai anggota Social Democratische Arbeiders Partij (SDAP).
Kartini berkorespondensi dengan Stella sejak 25 Mei 1899. Dengan perantara iklan yang di tempatkan dalam sebuah majalah di Belanda, Kartini berkenalan dengan Stella. Kemudian melalui surat menyurat, Stella memperkenalkan Kartini dengan berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme.
Dalam sebuah suratnya kepada Ny Nellie Van Koll pada 28 Juni 1902, Stella mengakui sebagai seorang Yahudi dan mengatakan antara dirinya dan Kartini mempunyai kesamaan pemikiran tentang Tuhan. Stella mengatakan,”Kartini dilahirkan sebagai seorang Muslim, dan saya dilahirkan sebagai seorang Yahudi. Meskipun demikian, kami mempunyai pikiran yang sama tentang Tuhan. ”
Dr Th Sumarna dalam bukunya ”Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini” menyatakan ada surat-surat Kartini yang tak diterbitkan oleh Ny. Abendanon Mandri, terutama surat-surat yang berkaitan dengan pengalaman batin Kartini dalam dunia okultisme (kebatinan dan mistis). Entah dengan alasan apa, surat-surat tersebut tak diterbitkan. Ny Abendanon hanya menerbitkan kumpulan surat Kartini yang diberi judul ”Door Duisternis tot Licht" (Habis Gelap Terbitlah Terang). Keterangan mengenai kepercayaan Kartini terhadap okultisme hanya didapat dari surat-suratnya yang ditujukan kepada Stella dan keluarga Van Kol. Seperti diketahui, okultisme banyak diajarkan oleh jaringan Freemasonry dan Theosofi, sebagai bagian dari ritual perkumpulan mereka.
Nama-nama lain yang menjadi teman berkorespondensi Kartini adalah Tuan H. H Van Kol, Ny Nellie Van Kol, Ny M. C. E Ovink Soer, E. C Abendanon (anak J. H Abendanon), dan Dr N Adriani (orang Jerman yang diduga kuat sebagai evangelis di Sulawesi Utara). Kepada Kartini, Ny Van Kol banyak mengajarkan tentang Bibel, sedangkan kepada Dr N Adriani, Kartini banyak mengeritik soal zending Kristen, meskipun dalam pandangan Kartini semua agama sama saja.
Apakah korespondensi Kartini dengan para keturunan Yahudi penganut humanisme, yang juga diduga kuat sebagai aktivis jaringan Theosofi-Freemasonry, berperang penting dalam memengaruhi pemikiran Kartini? Ridwan Saidi dalam buku Fakta dan Data Yahudi di Indonesia menyebutkan, sebagai orang yang berasal dari keturunan priayi atau elit Jawa dan mempunyai bakat yang besar dalam pendidikan, maka Kartini menjadi bidikan kelompok Theosofi, sebuah kelompok yang juga banyak digerakkan oleh orang-orang Belanda saat itu.
…maka Kartini menjadi bidikan kelompok Theosofi, sebuah kelompok yang juga banyak digerakkan oleh orang-orang Belanda saat itu...
Dalam catatan Ridwan Saidi, orang-orang Belanda gagal mengajak Kartini berangkat studi ke negeri Belanda. Karena gagal, maka mereka menyusupkan ke dalam kehidupan Kartini seorang gadis kader Zionis bernama Josephine Hartseen. Hartseen, menurut Ridwan adalah nama keluarga Yahudi.
Siapa yang berperan penting merekatkan hubungan Kartini dengan para elit Belanda? Adalah Christian Snouck Hurgronje orang yang mendorong J.H Abendanon agar memberikan perhatian lebih kepada Kartini bersaudara. Hurgronje adalah sahabat Abendanon yang dianggap oleh Kartini mengerti soal-soal hukum agama Islam. Atas saran Hurgronje agar Abendanon memperhatikan Kartini bersaudara, sampailah pertemuan antara Abendanon dan Kartini di Jepara.
Sebagai seorang orientalis, aktivis Gerakan Politik Etis, dan penasihat pemerintah Hindia Belanda, Snouck Hurgronje juga menaruh perhatian kepada kepada anak-anak dari keluarga priyayi Jawa lainnya. Hurgronje berperan mencari anak-anak dari keluarga terkemuka untuk mengikuti sistem pendidikan Eropa agar proses asimilasi berjalan lancar.
Langkah ini persis seperti yang dilakukan sebelumnya oleh gerakan Freemasonry lewat lembaga ”Dienaren van Indie” (Abdi Hindia) di Batavia yang menjaring anak-anak muda yang mempunyai bakat dan minat untuk memperoleh beasiswa. Kader-kader dari ”Dienaren van Indie” kemudian banyak yang menjadi anggota Theosofi dan Freemasonry.
Pengaruh Theosofi dalam Pemikiran Kartini
Surat-surat Kartini kepada Ny. Abendanon, orang yang dianggap satu-satunya sosok yang boleh tahu soal kehidupan batinnya, dan surat-surat Kartini lainya para humanis Eropa keturunan Yahudi di era 1900-an sangat kental nuansa Theosofinya. Seperti ditulis dalam surat-suratnya, Kartini mengakui ada orang yang mengatakan bahwa dirinya tanpa sadar sudah masuk kedalam alam pemikiran Theosofi.
Bahkan, Kartini mengaku diperkenalkan kepada kepercayaan dengan ritual-ritual memanggil roh, seperti yang dilakukan oleh kelompok Theosofi. Selain itu, semangat pemikiran dan perjuangan Kartini juga sama sebangun dengan apa yang menjadi pemikiran kelompok Theosofi. Inilah yang kemudian, banyak para humanis yang menjadi sahabat karib Kartini begitu tertarik kepada sosok perempuan ini.
…Kartini mengaku diperkenalkan kepada kepercayaan dengan ritual-ritual memanggil roh, seperti yang dilakukan oleh kelompok Theosofi…
Kartini juga kerap mendapat kiriman buku-buku dari Ny Abendanon, yang di antaranya buku tentang humanisme, paham yang juga lekat dengan Theosofi dan Freemasonry. Diantara buku-buku yang dibaca Kartini adalah, Karaktervorming der Vrouw (Pembentukan Akhlak Perempuan) karya Helena Mercier, Modern Maagden (Gadis Modern) karya Marcel Prevost, De Vrouwen an Socialisme (Wanita dan Sosialisme) karya August Bebel dan Berthold Meryan karya seorang sosialis bernama Cornelie Huygens.
Berikut surat-surat Kartini yang sangat kental dengan doktrin-doktrin Theosofi:
”Sepanjang hemat kami, agama yang paling indah dan paling suci ialah Kasih Sayang. Dan untuk dapat hidup menurut perintah luhur ini, haruskah seorang mutlak menjadi Kristen? Orang Buddha, Brahma, Yahudi, Islam, bahkan orang kafir pun dapat hidup dengan kasih sayang yang murni. ” (Surat kepada Ny Abendanon, 14 Desember 1902).
”Kami bernama orang Islam karena kami keturunan orang-orang Islam, dan kami adalah orang-orang Islam hanya pada sebutan belaka, tidak lebih. Tuhan, Allah, bagi kami adalah seruan, adalah seruan, adalah bunyi tanpa makna..." (Surat Kepada E. C Abendanon, 15 Agustus 1902).
”Agama yang sesungguhnya adalah kebatinan, dan agama itu bisa dipeluk baik sebagai Nasrani, maupun Islam, dan lain-lain” (Surat 31 Januari 1903).
”Kalau orang mau juga mengajarkan agama kepada orang Jawa, ajarkanlah kepada mereka Tuhan yang satu-satunya, yaitu Bapak Maha Pengasih, Bapak semua umat, baik Kristen maupun Islam, Buddha maupun Yahudi, dan lain-lain.” (Surat kepada E. C Abendanon, 31 Januari 1903).
”Ia tidak seagama dengan kita, tetapi tidak mengapa, Tuhannya, Tuhan kita. Tuhan kita semua.” (Surat Kepada H. H Van Kol 10 Agustus 1902).
”Betapapun jalan-jalan yang kita lalui berbeda, tetapi kesemuanya menuju kepada satu tujuan yang sama, yaitu Kebaikan. Kita juga mengabdi kepada Kebaikan, yang tuan sebut Tuhan, dan kami sendiri menyebutnya Allah.” (Surat kepada Dr N Adriani, 24 September 1902).
…Dari surat-surat tersebut, sangat jelas bahwa corak pemikiran Kartini sangat Theosofis, yang di antara inti ajaran Theosofi adalah kebatinan dan pluralisme…
Dari surat-surat tersebut, sangat jelas bahwa corak pemikiran Kartini sangat Theosofis, yang di antara inti ajaran Theosofi adalah kebatinan dan pluralisme.
Mengenai keterkaitan dan hubungannya dengan Theosofi, Kartini mengatakan:
”Orang yang tidak kami kenal secara pribadi hendak membuat kami mutlak penganut Theosofi, dia bersedia untuk memberi kami keterangan mengenai segala macam kegelapan di dalam pengetahuan itu. Orang lain yang juga tidak kami kenal menyatakan bahwa tanpa kami sadari sendiri, kami adalah penganut Theosofi." (Surat Kepada Ny Abendanon, 24 Agustus 1902).
Hari berikutnya kami berbicara dengan Presiden Perkumpulan Theosofi, yang bersedia memberi penerangan kepada kami, lagi-lagi kami mendengar banyak yang membuat kami berpikir.” (Surat Kepada Nyonya Abendanon, 15 September 1902).
Sebagai orang Jawa yang hidup di dalam lingkungan kebatinan, gambaran Kartini tentang hubungan manusia dengan Tuhan juga sama: manunggaling kawula gusti. Karena itu, dalam surat-suratnya, Kartini menulis Tuhan dengan sebutan ”Bapak”. Selain itu, Kartini juga menyebut Tuhan dengan istilah ”Kebenaran”, ”Kebaikan”, ”Hati Nurani”, dan ”Cahaya”, seperti tercermin dalam surat-suratnya berikut ini:
”Tuhan kami adalah nurani, neraka dan surga kami adalah nurani. Dengan melakukan kejahatan, nurani kamilah yang menghukum kami. Dengan melakukan kebajikan, nurani kamilah yang memberi kurnia.” (Surat kepada E. C Abendanon, 15 Agustus 1902).
”Kebaikan dan Tuhan adalah satu.” (Surat kepada Ny Nellie Van Kol, 20 Agustus 1902).
…Alam spiritual Kartini tak hanya dipengaruhi oleh kepercayaan akan mistis Jawa, tetapi juga oleh pemikiran-pemikiran Barat…
Alam spiritual Kartini tak hanya dipengaruhi oleh kepercayaan akan mistis Jawa, tetapi juga oleh pemikiran-pemikiran Barat. Inilah yang oleh kelompok Theosofi disebut sebagai upaya menyatukan antara ”Timur dan Barat”. Sebuah upaya yang banyak memikat para elit Jawa, terutama mereka yang sudah terbaratkan secara pemikiran.
Siti Soemandari, penulis biografi Kartini mengatakan, dalam beragama, Kartini kembali kepada akar-akar kejawennya atau apa yang disebut dengan ngelmu kejawen. Soemandari mempertegas, kepercayaan Kartini adalah gabungan antara iman Islam dan Kejawen. Atau dalam bahasa lain, keyakinan agama atau kepercayaan Kartini adalah sinkretisme yang berlandaskan pada pluralisme agama.
…Belakangan, jaringan Theosofi di Indonesia juga mendirikan Kartini School (Sekolah Kartini) yang mulanya didirikan di Bandung…
Belakangan, jaringan Theosofi di Indonesia juga mendirikan Kartini School (Sekolah Kartini) yang mulanya didirikan di Bandung oleh seorang Teosof bernama R. Musa dan kemudian menyebar di berabagai daerah di Jawa. Tercatat ada beberapa daerah yang berdiri Sekolah Kartini, yaitu Jatinegara (Jakarta), Semarang, Bogor, Madiun (1914), Cirebon, Malang (1916), dan Indramayu (1918).
Sebagai sekolah yang dikelola oleh para Teosof, ajaran tentang kebatinan, sinkretisme--atau sekarang lebih populer dengan istilah pluralisme-- juga tentang pembentukan watak dan kepribadian, lebih menonjol dalam pelajaran di sekolah-sekolah tersebut. Sekolah lain yang didirikan di berbagai daerah oleh kelompok Theosofi adalah Arjuna School, dengan muatan nilai-nilai pendidikan yang sama dengan Kartini School.
Tepatkah jika Kartini, berpikiran Barat dan berpaham Theosofi, dijadikan ikon bagi perjuangan kaum wanita pribumi?
Sejarah mencatat, ada banyak perempuan yang hidup sezaman dengan Kartini yang namanya begitu saja dilupakan dalam perannya memajukan pendidikan kaum hawa di negeri ini. Di antara nama itu adalah Dewi Sartika (1884-1947) di Bandung yang juga berkiprah memajukan pendidikan kaum perempuan. Dewi Sartika tak hanya berwacana, tapi juga mendirikan lembaga pendidikan yang belakangan bernama Sakolah Kautamaan Istri (1910). Selain Dewi Sartika, ada Rohana Kudus, kakak perempuan Sutan Sjahrir, di Padang, Sumatera Barat, yang berhasil mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916).
Kartini, seperti yang tersirat dalam tulisan Prof Harsja W Bachtiar, adalah sosok yang diciptakan oleh Belanda untuk menunjukkan bahwa pemikiran Barat-lah yang menginspirasi kemajuan perempuan di Indonesia. Atau setidaknya, bahwa proses asimiliasi yang dilakukan kelompok humanis Belanda yang mengusung Gerakan Politik Etis pada masa kolonial, telah sukses melahirkan sosok yang Kartini yang ”tercerahkan” dengan pemikiran Barat
…Kartini adalah sosok yang diciptakan oleh Belanda untuk menunjukkan bahwa pemikiran Barat-lah yang menginspirasi kemajuan perempuan di Indonesia
Karena itu, Harsja menilai, sejarah harus jujur dan secara terbuka melihat jika memang ada orang-orang yang juga mempunyai peran penting seperti Kartini, maka orang-orang tersebut juga layak mendapat penghargaan serupa, tanpa menihilkan peran yang dilakukan oleh Kartini.
Soal sosok Kartini yang diduga menjadi ”mitos dan rekayasa” yang diciptakan oleh kolonialis juga menjadi perhatian sejarawan senior Taufik Abdullah. Ia menulis:
”Tak banyak memang ”pahlawan” kita resmi atau tidak resmi yang dapat menggugah keluarnya sejarah dari selimut mitos yang mengitari dirinya. Sebagian besar dibiarkan aman tenteram berdiam di alam mitos—mereka adalah ”pahlawan” dan selesai masalahnya. R. A Kartini adalah pahlawan tanpa henti membiarkan dirinya menjadi medan laga antara mitos dan sejarah. Pertanyaan selalu dilontarkan kepada selimut makna yang menutupinya. Siapakah ia sesungguhnya? Apakah ia hanya sekadar hasil rekayasa politik etis pemerintah kolonial yang ingin menjalankan politik asosiasi?”
Perjuangan dan pemikiran Kartini, terutama yang berhubungan dengan pluralisme, memang mendapat perhatian dunia internasional. Ny Eleanor Roosevelt, istri Presiden AS Franklin D Roosevelt memberikan pernyataan tentang perjuangan Kartini:
”Saya senang sekali memperoleh pandangan-pandangan yang tajam yang diberikan oleh surat-surat ini. Satu catatan kecil dalam surat itu, menurut saya merupakan sesuatu yang patut kita semua ingat. Kartini katakan: Kami merasa bahwa inti dari semua agama sama adalah hidup yang benar, dan bahwa semua agama itu baik dan indah. Akan tetapi, wahai umat manusia, apa yang kalian perbuat dengan dia? Daripada mempersatukan kita, agama seringkali memaksa kita terpisah, dan sedangkan gadis yang muda ini, menyadari bahwa ia harus menjadi kekuatan pemersatu”.
…Perjuangan dan pemikiran Kartini, terutama yang berhubungan dengan pluralisme, memang mendapat perhatian dunia internasional…
Siapa Ny. Eleanor Roosevelt? Dalam buku Decoding the Lost Symbol, Simon Cox menyebut Eleanor Roosevelt adalah aktivis organisasi the Star of East, sebuah organisasi yang berada di bawah kendali Freemasonry, yang menerima perempuan sebagai anggotanya. Di Batavia, organisasi the Star of East (Bintang Timur), pada masa lalu sangat mengakar dengan berdirinya loge Freemasonry, De Ster in het Oosten (Bintang Timur) di kawasan Weltevreden, yang sekarang berada di jalan Boedi Oetomo.
Jadi, masih mengidolakan Kartini? [Artawijaya/voa-islam.com]
* Artikel ini disarikan dari buku Gerakan Theosofi di Indonesia
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/liberalism/2012/04/21/5268/ra-kartini-dalam-pengaruh-pemikiran-yahudi-theosofi-dan-pluralisme/#sthash.xJQI8RBD.dpuf
Posted on Apr 21st, 2016
source : https://www.nahimunkar.com/mengapa-belanda-lebih-memilih-kartini-bukan-cut-nyak-dien-dewi-sartika/
Oleh Tiar Anwar Bachtiar (* Insists UI
Mengapa harus Kartini? Mengapa setiap 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?
Pada dekade 1980-an, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik pengkultusan R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia. Tahun 1988, masalah ini kembali menghangat, menjelang peringatan hari Kartini 21 April 1988. Ketika itu akan diterbitkan buku Surat-Surat Kartini oleh F.G.P. Jacquet melalui penerbitan Koninklijk Institut voor Tall-Landen Volkenkunde (KITLV).
Tulisan ini bukan untuk menggugat pribadi Kartini. Banyak nilai positif yang bisa kita ambil dari kehidupan seorang Kartini. Tapi, kita bicara tentang Indonesia, sebuah negara yang majemuk. Maka, sangatlah penting untuk mengajak kita berpikir tentang sejarah Indonesia. Sejarah sangatlah penting. Jangan sekali-kali melupakan sejarah, kata Bung Karno. Al-Quran banyak mengungkapkan betapa pentingnya sejarah, demi menatap dan menata masa depan.
Banyak pertanyaan yang bisa diajukan untuk sejarah Indonesia. Mengapa harus Boedi Oetomo, Mengapa bukan Sarekat Islam? Bukankah Sarekat Islam adalah organisasi nasional pertama? Mengapa harus Ki Hajar Dewantoro, Mengapa bukan KH Ahmad Dahlan, untuk menyebut tokoh pendidikan? Mengapa harus dilestarikan ungkapan ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani sebagai jargon pendidikan nasional Indonesia?
Bukankah katanya, kita berbahasa satu: Bahasa Indonesia? Tanyalah kepada semua guru dari Sabang sampai Merauke. Berapa orang yang paham makna slogan pendidikan nasional itu? Mengapa tidak diganti, misalnya, dengan ungkapan Iman, Ilmu, dan amal, sehingga semua orang Indonesia paham maknanya.
Kini, kita juga bisa bertanya, Mengapa harus Kartini? Ada baiknya, kita lihat sekilas asal-muasalnya. Kepopuleran Kartini tidak terlepas dari buku yang memuat surat-surat Kartini kepada sahabat-sahabat Eropanya, Door Duisternis tot Licht, yang oleh Armijn Pane diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang.
Buku ini diterbitkan semasa era Politik Etis oleh Menteri Pengajaran, Ibadah, dan Kerajinan Hindia Belanda Mr. J.H. Abendanon tahun 1911. Buku ini dianggap sebagai grand idea yang layak menempatkan Kartini sebagai orang yang sangat berpikiran maju pada zamannya. Kata mereka, saat itu, tidak ada wanita yang berpikiran sekritis dan semaju itu.
Beberapa sejarawan sudah mengajukan bukti bahwa klaim semacam itu tidak tepat. Ada banyak wanita yang hidup sezamannya juga berpikiran sangat maju. Sebut saja Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (terakhir pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita.
Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.
Kalau Kartini hanya menyampaikan Sartika dan Rohana dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).
Kalau saja ada yang sempat menerbitkan pikiran-pikiran Rohana dalam berbagai surat kabar itu, apa yang dipikirkan Rohana jauh lebih hebat dari yang dipikirkan Kartini. Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pocut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita.
Di Aceh kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati. Aceh juga pernah dipimpin oleh Sultanah (sultan wanita) selama empat periode (1641-1699). Posisi sulthanah dan panglima jelas bukan posisi rendahan.
Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? — Apa karena Cut Nyak dibenci penjajah?— Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.
Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan, begitu kata Rohana Kudus.
Bayangkan, jika sejak dulu anak-anak kita bernyanyi: Ibu kita Cut Nyak Dien. Putri sejati. Putri Indonesia…, mungkin tidak pernah muncul masalah Gerakan Aceh Merdeka. Tapi, kita bukan meratapi sejarah, Ini takdir. Hanya, kita diwajibkan berjuang untuk menyongsong takdir yang lebih baik di masa depan. Dan itu bisa dimulai dengan bertanya, secara serius: Mengapa Harus Kartini?
*Peneliti INSISTS dan Kandidat Doktor Sejarah, Universitas Indonesia
Sumber: voa-islam.com/Senin, 13 Rajab 1437 H / 12 Mei 2014
Mitos Kartini dan Rekayasa Sejarah
Oleh: Dr. Adian Husaini
Ada yang menarik pada Jurnal Islamia (INSISTS -Republika) edisi 9 April 2009 lalu. Dari empat halaman jurnal berbentuk koran yang membahas tema utama tentang Kesetaraan Gender, ada tulisan sejarawan Persis Tiar Anwar Bahtiar tentang Kartini. Judulnya: “Mengapa Harus Kartini?”
Sejarawan yang menamatkan magister bidang sejarah di Universitas Indonesia ini mempertanyakan: Mengapa Harus Kartini? Mengapa setiap 21 April bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?
Menyongsong tanggal 21 April 2009 kali ini, sangatlah relevan untuk membaca dan merenungkan artikel yang ditulis oleh Tiar Anwar Bahtiar tersebut. Tentu saja, pertanyaan bernada gugatan seperti itu bukan pertama kali dilontarkan sejarawan. Pada tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik ‘pengkultusan’ R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia.
Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”. Tulisan ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini. “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut,” tulis Harsja W. Bachtiar, yang menamatkan doktor sosiologinya di Harvard University.
Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.
Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh.
VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.
Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.
Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.
Harsja menulis tentang kisah ini: “Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.”
Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme H.H. van Kol dan penganjur “Haluan Etika” C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.
Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).
Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda. Harsja Bachtriar kemudian mencatat: “Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.”
Karena itulah, simpul guru besar UI tersebut: “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.”
Harsja mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang hebat-hebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri tauladan banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini: “Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.”
Dalam artikelnya di Jurnal Islamia (INSISTS-Republika, 9/4/2009), Tiar Anwar Bahtiar juga menyebut sejumlah sosok wanita yang sangat layak dimunculkan, seperti Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (kemudian pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Berikut ini paparan tentang dua sosok wanita itu, sebagaimana dikutip dari artikel Tiar Bahtiar.
Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.
Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).
Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda.
Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati.
Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.
Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan,” begitu kata Rohana Kudus.
Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar, penokohan Kartini tidak terlepas dari peran Belanda. Harsja W. Bachtiar bahkan menyinggung nama Snouck Hurgronje dalam rangkaian penokohan Kartini oleh Abendanon. Padahal, Snouck adalah seorang orientalis Belanda yang memiliki kebijakan sistematis untuk meminggirkan Islam dari bumi Nusantara. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara.
Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu ((Bandung: Mizan, 1990, cet. Ke-4), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini:
“Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.”
Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck. Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis:
”Salam, Bidadariku yang manis dan baik!… Masih ada lagi suatu permintaan penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut: ”Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat?” Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya.” (Lihat, buku Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).
Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk ’menaklukkan Islam’. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Posisi dan pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.
Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam ’penyamarannya’ sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ’ulama’. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai ”Mufti Hindia Belanda’. Juga ada yang memanggilnya ”Syaikhul Islam Jawa”. Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: ”Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.” (hal. 116).
Snouck Hurgronje (lahir: 1857) adalah adviseur pada Kantoor voor Inlandsche zaken pada periode 1899-1906. Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam bukunya, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda. Salah satu strateginya, adalah melakukan ‘pembaratan’ kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam.
Menurut Snouck, lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka. Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir melalui asosiasi pemeluk agama ini ke dalam kebudayaan Belanda. Dalam perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai pemenangnya. Apalagi, jika didukung oleh kristenisasi dan pemanfaatan adat. (hal. 43).
Aqib Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam menaklukkan Islam di Indonesia: “Terhadap daerah yang Islamnya kuat semacam Aceh misalnya, Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkan kristenisasi. Untuk menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan menyalurkan semangat mereka kearah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi kebudayaan.” (hal. 24).
Itulah strategi dan taktik penjajah untuk menaklukkan Islam. Kita melihat, strategi dan taktik itu pula yang sekarang masih banyak digunakan untuk ‘menaklukkan’ Islam. Bahkan, jika kita cermati, strategi itu kini semakin canggih dilakukan. Kader-kader Snouck dari kalangan ‘pribumi Muslim’ sudah berjubel. Biasanya, berawal dari perasaan ‘minder’ sebagai Muslim dan silau dengan peradaban Barat, banyak ‘anak didik Snouck’ – langsung atau pun tidak – yang sibuk menyeret Islam ke bawah orbit peradaban Barat. Tentu, sangat ironis, jika ada yang tidak sadar, bahwa yang mereka lakukan adalah merusak Islam, dan pada saat yang sama tetap merasa telah berbuat kebaikan.
0 comments:
Post a Comment