Ketika saya memutuskan untuk memeluk Islam 32 tahun silam, pilihan itu telah mengantarkan saya pada banyak resiko. Resiko pernikahan saya, resiko harus tak diterima lagi oleh orang tua dan saudara-saudara saya, belum lagi resiko teror yang saya terima.
Namun itu kembali lagi pada kemantapan hati yang telah Allah berikan kepada saya. Ya, Dia-lah Sang Maha Pembolak Balik Hati yang teramat agung kuasanya. Saya teringat dengan salah satu ayat Allah,
"Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk (dalam semua kebaikan dunia dan akhirat); dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi (dunia dan akhirat).” (QS al-A’raaf:178)
Inipun menjadi satu alasan saya untuk memantapkan diri, memeluk jalan lurus ini, Insya Allah hingga ajal menjemput nanti.
Selain itu, ada satu perkara yang membuat saya tertarik dengan Islam. Yakni, konsep Islam yang rahmatan lil 'alamin.
"Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam." (QS Al-Anbiyaa':107)
Konsep ini menarik bagi saya. Sebagai rahmat untuk semesta alam, Islam hadir untuk menaungi umat manusia dalam risalah yang dibawa nabi terakhir nan mulia, Rasulullah Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wasallam. Dengan menjadi rahmat bagi semesta alam, Islam tak hanya mengatur hubungan baik antarmanusia. Melainkan juga bagaimana kita mampu memperlakukan ciptaan Allah yang lain dengan baik. Sekali lagi, karena rahmat bagi semesta alam.
Namun sayangnya, banyak di antara ummat kita yang hari ini mengartikan "rahmatan lil alamin" dengan makna yang keliru. Akibatnya, banyak yang tersesat dalam liberalisme, sehingga menganggap seluruh agama sama. Padahal kalau seluruh agama sama, saya tak perlu berganti iman. Kalau seluruh agama sama, cara pikir mudahnya, hari ini ibadah di masjid, besok ke gereja, besoknya ke vihara, dan lainnya, pasti tidak masalah. Tapi nyatanya tak ada yang melakukan itu. Mengapa? Karena memang semua agama tidaklah sama.
Konsep ketuhanan antara Islam dengan agama saya terdahulu, juga jauh berbeda. Saya pernah menggugat soal trinitas kepada dosen saya di biara. Kalau Tuhan punya tiga pribadi, bagi saya saat itu, ketika dunia semakin maju, pribadi Tuhan harus ditambah menjadi empat. Dosen saya terperanjat dengan pernyataan saya. Konsep ini beda dengan Islam. Saya begitu terhenyak membaca surat dalam Al-Quran yang pertama kali saya kaji, yakni surat Al-Ikhlas. Allah adalah satu, tidak beranak, tidak diperanakkan, dan Allah-lah tempat bergantung segala sesuatu. Konsep ini tegas, tidak bertele-tele.
Maka sekali lagi, konsep rahmatan lil alamin jangan dipelencengkan sesuka hati dengan menghalalkan perayaan Natal bersama, dan lain sebagainya. Jangan berpartisipasi karena memandang 25 Desember sebagai kelahiran Nabi Isa, sebab sejatinya 25 Desember bukan kelahiran Nabi Isa.
Rahmat bagi semesta alam telah ditunjukkan dengan baik oleh Rasulullah semasa beliau di Madinah. Lewat piagam Madinah, beliau mengatur dengan baik hubungan antar Muslim dengan kaum Yahudi. Seluruh umat yang hidup dalam naungan Islam pun terjamin. Bahkan ketika masa kekhalifahan Turki Utsmani pun, Amerika yang saat itu mengalami kelaparan hebat akibat kalah dari Inggris, hidup sejahtera berkat bantuan kekhalifahan Islam.
Inilah konsep rahmatan lil alamin yang tepat. Jangan menjadikan konsep mulia ini sebagai penghalal pelanggaran aqidah. Boleh bermuamalah dengan kaum non-Muslim, namun tak perlu mengikuti hal-hal yang menyangkut akidahnya. Meski atas nama toleransi sekalipun. Toleransi yang dijaga Islam telah tepat: mempersilakan kaum beragama lain untuk beribadah sesuai keyakinannya, dan tidak memaksa mereka untuk mengikuti akidah kita.
"Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang (teguh) kepada buhul tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui." (QS Al-Baqarah: 256)
"Katakanlah: Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah, Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." (QS Al-Kafirun: 1-6)
Di akhir tulisan singkat ini, izinkan saya mengutip satu sabda Rasulullah agar kita harus senantiasa menjaga akidah yang lurus ini. Hingga malaikat Izra'il datang menjemput.
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim no. 2669).
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad 2: 50 dan Abu Daud no. 4031)
Irena Handono
source : http://kajianirenahandono.blogspot.co.id/2015/07/secuil-renungan-ummi-islam-rahmatan-lil.html
0 comments:
Post a Comment