Wanita bahagia
Setelah aku menikah dengannya, Ahmad mengusulkan agar selama beberapa tahun aku dan dirinya tinggal di rumah ayah dan ibunya. Tapi aku menolak, “Tidakkah engkau khawatir bakal terjadi pertengkaran?” “Benar apa yang kau katakan. Tapi supaya aku punya tabungan untuk membeli rumah yang kita inginkan, sebaiknya untuk beberapa waktu kita tinggal di rumah ayah ibu.”Sebelum bermusyawarah dengan keluargaku, aku menerima usulan itu. Tapi ketika aku membicarakannya dengan ibu dan saudari – saudariku, dengan serta merta mereka berkata, “Putriku! Apakah engkau sudah kehilangan akal sehatmu? Bagaimana mungkin engkau hidup bersama di rumah mertua?” “Apa salahnya?” Jawabku sekenanya. “Apakah engkau tak pernah mendengar pepatah yang mengatakan, ‘Menantu wanita dan mertua masing – masing punya selera berbeda,’” sergah ibuku. Lalu saudariku menambahkan, “Kalau engkau tidak merasa terganggu, dia yang akan merasa terganggu!”Mendengar penjelasan itu, aku berkata pada Ahmad, “Ahmad, aku tak akan tinggal di sini.” Ahmad yang mengetahui dari mana pendapatku berasal, lalu berkata, “Tak masalah. Tapi kita tinggal di sini dulu untuk beberapa lama, lalu pindah.”“Kalau begitu, apa bedanya?” tanyaku.“Kalau dengan pola pikirmu itu engkau enggan tinggal bersama ayah ibuku, engkau sama sekali tak akan mengenyahkan pola pikir yang keliru itu dari benakmu,” jawab Ahmad.Selama beberapa bulan kami tinggal di rumah ayah ibunya. Pasti Anda akan bertanya – tanya tentang apakah aku menghadapi berbagai persoalan atau tidak. Harus kukatakan sejujurnya bahwa aku memang menghadapi banyak persoalan dan kesulitan. Tapi kami mampu menyelesaikannya dengan mudah. Sebagai contoh, Ahmad bersikap tegas dan bijaksana. Dia tak mengizinkanku mengadukan sikap ibunya kepadanya. Dia juga tidak membolehkan ibunya mengadu kepadanya tentang sikapku. Dia meminta kami menyelesaikan sendiri persoalan masing – masing.Ahmad sangat menjaga kehormatan dan kemuliaan ibunya dan diriku. Sikapnya yang bijaksana itu membuatku berharap mampu mengajarkan sikap tersebut kepada anak – anakku.Aku masih ingat hari – hari pertama aku mengeluhkan berbagai persoalan yang sebenarnya membebani dirinya. Namun dengan penuh sabar, dia mendengar keluhanku. Lalu kami duduk berjam – jam untuk saling mengungkapkan beberapa argumen dan bukti; bahwa sekiranya aku mampu mengubah sikap dan pola pikirku, aku akan meraih keberhasilan dalam kehidupan rumah tanggaku.Suatu hari, sebelum suamiku pulang. Pikiranku disibukkan dengan suatu masalah. Aku merasa bahwa akar persoalan ini berasal dari Ahmad. Karena itu, ketika Ahmad pulang aku bersikap dingin dan tidak menyambut kedatangannya seperti biasa. Dengan lembut dia berkata, “Istriku, kenapa engkau tampak murung?” Kupalingkan wajahku sambil berkata ketus, “Engkau telah menipu orang lain dengan mulut manismu.Sampai detik ini aku tertipu rayuanmu!”Setelah mengucapkan kalimat itu, aku mendadak kalap dan melontarkan kata – kata kasar kepada Ahmad yang memandangku dengan lembut dan suci. “Aku sudah capek hidup denganmu!” Dengan kalem, Ahmad duduk di hadapanku, menundukkan kepala, dan sabar menanti sampai aku selesai mengumpat. Setelah aku terdiam, dia merasa keadaanku sudah tenang.Dia lalu meminta izin keluar rumah. Setengah jam kemudian, dia pulang dengan membawa sekotak kue tart dan dua gelas es krim, “Setelah engkau menguras tenaga karena marah, kue tart dan es krim ini kiranya dapat mengembalikan energimu yang hilang!”Aku tetap terdiam menanti reaksi Ahmad. Tapi dengan tenang dia mengunyah kue tart dan es krim yang dibawanya itu. Aku pun ikut – ikutan mengunyahnya. Ahmad berkata, “Engkau keliru menilai diriku. Jelas itu bukan masalah penting. Sebab, boleh jadi aku sendiri sering melakukan kesalahan semacam itu.”Lalu dia memberikan penjelasan yang membuktikan bahwa aku salah dalam menilainya. Setelah merasa tenang, aku berkata pada Ahmad, “Bagaimana caranya engkau memiliki sikap setenang itu?” Ahmad menjawab, “Aku tak beda dengan yang lain. Aku bukan seperti yang kau bayangkan.”Kujawab, “Tidak, itu tidak benar! Engkau begitu tenang dan sabar, tidak gampang marah, menghormati orang lain; jarang ada orang yang punya sifat sepertimu.” Dia menjawab, “Boleh jadi kata – katamu itu benar adanya.” Lalu dia menatap ke sudut ruangan sambil berkata, “Sewaktu aku masih kuliah, terdapat dua orang dosen yang amat kuhormati dan keduanya orang baik. Mereka berdua adalah suami istri yang berwawasan luas serta punya perikemanusiaan yang sangat tinggi. Sama sekali tak pernah terlintas dalam benakku kalau suatu hari kedua insan itu bersitegang dan bertengkar; nyatanya itu memang benar – benar terjadi.Pada hari itu, aku sedang berada di ruang bapak dosenku. Ketika sibuk menjawab berbagai pertanyaanku, tiba – tiba istrinya datang dalam keadaan marah. Aku tak tahu apa yang terjadi. Namun bapak dosenku berusaha tidak menampakkan amarahnya di hadapanku. Melihat suasana yang kurang menyenangkan itu, aku segera minta izin kepadanya untuk keluar. Tapi dia tak mengizinkan dan aku pun tetap duduk di situ.Mulailah keduanya saling bantah. Ketika nada suara mereka berdua makin tinggi, tiba – tiba aku mendengar suara tamparan bapak dosen ke telinga istrinya! Tamparan itu membuat sang istri terdiam dan berhenti bicara. Tapi aku menganggap perbuatan itu justru telah menjatuhkan kewibawaan suaminya. Dia menunjukkan sikap yang tak patut dilakukan seorang lelaki. Semestinya dia mencari cara lain dalam menghadapi perangai buruk istrinya.Dari peristiwa itu aku mengambil pelajaran bahwa aku tak akan melakukan apa yang terlanjur dilakukannya. Sejak itulah aku berusaha untuk menjaga kehormatan dan harga diriku dan orang lain, dengan senantiasa bersikap tenang ketika sedang marah.”Oh Ahmad, engkau memang penyabar dan suami ideal. Hidup bersamamu, membuatku merasakan kebahagiaan yang purna. Engkau benar – benar lelaki sejati!”
0 comments:
Post a Comment